Gambar 1 : K.H. Ahmad Sanusi
Kiayi
Haji Ahmad Sanusi seorang putera Sukabumi yang pernah berkiprah di panggung
nasional di era 1920-an sampai dengan 1950-an. Ia adalah seorang Ulama Pemikir
dan Pejuang yang telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga tidak heran apabila Pemerintah
Republik Indonesia mengangkatnya menjadi salah seorang perintis Kemerdekaan
Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia melalui Presiden
Soeharto menganugerahi penghargaan Bintang Maha Putera Utama pada tanggal 12
Agustus 1992 serta Presiden Susilo Bambang Yudoyono menganugerahi Bintang Maha
Putera Adipradana pada tanggal 10 November 2009. Sedangkan Pemerintah Kota
Sukabumi mengabadikan namanya menjadi salah satu nama jalan di Kota Sukabumi,
yang menghubungkan antara jalan Cigunung sampai dengan Degung. Adapun Gubernur
Jawa Barat H. Ahmad Heriawan mengabadikan Karya Ahmad Sanusi yang monumental
yakni TAFSIR RAUDHATUL IRFAN menjadi nama Masjid Raya RAUDHATUL IRFAN sebuah
Masjid yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang berada di Jalan
Lingkar Selatan Cibolang Sukabumi.
Ahmad
Sanusi, dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 12 Muharram 1306 H bertepatan
dengan tanggal 18 September 1888 M di Kampung Cantayan Desa Cantayan Kecamatan
Cantayan Kabupaten Sukabumi (Daerah tersebut duhulunya bernama Kampung Cantayan
Desa Cantayan Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling
Sukabumi) anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan K.H. Abdurrohim (Ajengan
Cantayan, Pimpinan Pondok Pesantren Cantayan) dengan Ibu Empok.
Sejak
kecil Ahmad Sanusi hidup dilingkungan keluarga yang religius sampai usia
remaja. Di lingkungan keluarga inilah Ahmad Sanusi mendapat pendidikan Agama
Islam yang begitu ketat sehingga Ahmad Sanusi selain hafadz al-Qur’an
diusia 12 tahun juga ia mengusasi berbagai disiplin Ilmu Agama Islam, seperti
Ilmu Nahu, Sharaf, Tauhid, Fiqh, Tafsir, Mantiq, dan lain-lain.
Bab I
Sukabumi Pada Pergantian Abad 19 ke Abad 20
A. Pergerakan Nasional
Sebelum menjadi sebuah kabupaten (regentshappen)
atau kota praja (gemeente), Sukabumi merupakan bagian dari Kabupaten
Cianjur. Pada awalnya, Sukabumi merupakan sebuah vrijeland atau tanah
partikelir hingga pada awal abad ke-19, vrijeland Sukabumi diubah
menjadi salah satu distrik di Kabupaten Cianjur. Tahun 1871, Wilayah Vrijeland
Sukabumi ini dijadikan sebagai Afdeeling Sukabumi dengan ibu kota di
Kota Sukabumi dan meliputi tujuh distrik, yaitu Gunung Parang, Cimahi,
Ciheulang, Cicurug, Pelabuhan, Jampang Tengah, dan Jampang Kulon.
Mayoritas masyarakat Sukabumi memeluk
agama Islam sehingga kehidupan sosial budayanya pun dipengaruhi oleh
nilai-nilai keislaman. Keadaan tersebut diperkuat oleh kebangkitan gerakan
kehidupan keagamaan yang terjadi di Pulau Jawa sejak akhir abad ke-19
(Kartodirdjo, 1984: 54). Di Sukabumi, kebangkitan kehidupan keagamaan tersebut
ditandai dengan semakin banyaknya yang pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
haji, jumlah pesantren yang semakin meningkat, dan pembangunan masjid yang
cukup pesat.
Di lain pihak, Pemerintah Hindia Belanda
berupaya agar nilai-nilai keislaman yang dipraktikkan oleh masyarakat Sukabumi
tidak berkembang menjadi suatu gerakan keagamaan. Pemerintah kolonial mengawasi
secara ketat perilaku para kyai yang memiliki pengaruh yang sangat kuat di
kalangan masyarakat. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda pun berusaha untuk
mengkristenkan penduduk pribumi. Usaha itu dilakukan sejak pertengahan abad
ke-19 oleh S. van Aendenburg dari Rotterdamsche Zendingsvereniging. Pada
akhir abad ke-19, kristenisasi itu berhasil mendirikan sebuah perkampungan
Kristen pertama di Sukabumi yang terletak di daerah Pangharepan (Algemeen
Verslag over 1889; Noer, 1991: 27). Untuk mendukung penyebaran agama
Kristen, baik kalangan misi maupun zending menjadikan sekolah dan rumah sakit
sebagai media penyebaran agama Kristen. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
kalau sampai tahun 1921, sebagaiman dilaporkan oleh L. de Steurs (Residen
Priangan) tanggal 2 Januari 1921, di Sukabumi telah berdiri dua buah zendingschool
dan sebuah sekolah partikelir yang bernama Hollandsch-Chineescheschool usaha
Zending.
Keadaan tersebut yang mendorong kalangan
ulama untuk semakin menghidupkan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan Islam.
Bahkan, mereka kemudian mendorong para santrinya yang telah selesai menimba
ilmu di pesantrennya untuk mendirikan pesantren baru di daerah-daerah. Meskipun
hampir di setiap wilayah di Sukabumi terdapat pesantren, namun Cantayan,
Genteng, Gunung Puyuh, Cipoho, Babakan Cicurug, Sukamantri, Cibalagung, dan
Cipanengah dipandang sebagai pusat pendidikan pesantren di Sukabumi.
Merebaknya berbagai organisasi
pergerakan nasional itu terasa juga pengaruhnya oleh masyarakat Sukabumi.
Denyut nadi pergerakan nasional di Sukabumi begitu terasa mengingat secara
geografis, wilayah ini tidaklah begitu jauh dari Batavia dan Bandung, dua
daerah yang menjadi pusat pergerakan nasional. Di antara sekian banyak
organisasi pergerakan nasional yang didirikan di Sukabumi, Sarekat Islam
merupakan organisasi pergerakan nasional yang didirikan paling awal di
Sukabumi.
Sarekat Islam itu sendiri didirikan
pada 11 November 1911 di Solo sebagai kelanjutan dari organisasi Sarekat Dagang
Islam yang didirikan oleh H. Samanhoedi, M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno, M.
Sumowerdojo, dan M. Hadji Abdulradjak (Utusan Hindia, 21 April 1914).
Meskipun Sarekat Islam telah berdiri
sejak tahun 1911, namun anggaran dasarnya baru disahkan pada 10 September 1912
melalui akte notaris. Seiring dengan pengesahan itu, kata “Dagang” yang
terdapat di antara kata “Sarekat” dan “Islam” dihapus sehingga nama organisasi
itu menjadi Sarekat Islam. Pengesahan anggaran dasar inilah yang oleh sebagian
kalangan dipandang sebagai tahun berdirinya Sarekat Islam.
Ketika Ahmad Sanusi menginjak usia
tujuh tahun, dirinya diberi tugas untuk menggembalakan kambing milik ayahnya.
Bersama-sama dengan saudara dan anak-anak sebayanya, ia menggembalakan kambing
ayahnya tersebut penuh dengan kegembiraan. Ia dengan senang hati menjaga
kambingnya serta mencarikan makanan (rumput) untuk kambingnya dari satu tempat
ke tempat lainnya sambil bermain-main dengan teman-teman sebayanya. Tugasnya
itu dijalani oleh Ahmad Sanusi sampai ia berusia sepuluh tahun. Selama lima
tahun kemudian, tepatnya dari usia 10 tahun sampai berusia 15 tahun, Ahmad
Sanusi tetap diberikan tugas menggembala hewan peliharaan oleh orang tuanya.
Bedanya, bukan kambing lagi yang digembalakan oleh Ahmad Sanusi, melainkan
kerbau. Menginjak usianya 15 tahun, Ahmad Sanusi disuruh menjaga kuda, kadang
kuda, dan memotong rumput untuk makanan seluruh hewan peliharaan milikK. H.
Abdurrahim.
Di tengah-tengah kesibukannya
menggembalakan hewan peliharaannya, Ahmad Sanusi diberi pendidikan dasar
keagamaan oleh orang tuanya. Membaca Al Qur’an dan praktik-praktik ibadah
lainnya secara rutin diberikan kepada Ahmad Sanusi. Keadaan seperti itu yang
kemudian mampu membentuk karakter Ahmad Sanusi sebagai seseorang yang memiliki
landasan keagamaan sangat kuat. Dengan demikian, sejak kecil Ahamad Sanusi
telah mengalami proses internalisasi terhadap masalah-masalah keagamaan. Selain itu, K. H. Abdurrahim menginginkan
anak-anaknya menjadi serang ulama sehingga proses pendidikan keagamaan telah
dilakukan terhadap Ahmad Sanusi, juga kepada saudara kandung lainnya, sejak
usia dini. Keinginan tersebut merupakan fenomena umum yang menghinggapi harapan
para kyai di Pulau Jawa.
Bab II
Di Tengah Arus Pergerakan Nasional
A. Aktif
di Sarekat Islam dan Pesantren
Setelah selesai
menunaikan ibadah haji, H. Ahmad Sanusi tidak langsung pulang ke kampung
halamanannya di Cantayan, Sukabumi. Ia mukim di Mekkah selama lima tahun untuk
memperdalam ilmu keislamannya. Ia kemudian berguru kepada beberapa ulama lokal
maupun ulama pendatang (mukimin). Pada umumnya, para ulama yang
didatangi oleh H. Ahmad Sanusi adalah mereka yang berasal dari Mazhab Syafi’i.
Beberapa gurunya itu antara lain H. Muhammad Junaedi, Haji Mukhtar, Haji
Abdullah Jamawi, dan seorang mufti dari Mazhab Sayafi’i yang bernama
Syeikh Saleh Bafadil.
Tahun-tahun pertama mukimnya H. Ahmad
Sanusi di Mekkah, jadi antara tahun 1910-1911, ia bertemu dengan H. Abdul Halim
dari Majalengka. Oleh karena mereka berasal dari satu daerah yang sama yakni
Tatar Pasundan pertemuan tersebut berkembang menjadi sebuah persahabatan. Konon
katanya mereka bersepakat bahwa jika kelak kembali ke Indonesia, mereka akan
berjuang membebaskan bangsanya dari penjajahan Belanda melalu pendidikan.
Sekitar tahun 1911, H. Abdul Halim pulang ke kampung halamannya, sedangkan H.
Ahmad Sanusi masih bermukim di Mekkah karena belum menyelesaikan pendidikan agamanya.
Ketika H. Ahmad Sanusi pulang ke Cantayan pada Juli 1915, hubungannya dengan H.
Abdul Halim diteruskan dan mereka mulai berusaha mengimplementasikan
cita-citanya membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui pendidikan.
Dari hubungan itulah, kelak di kemudian hari lahir sebuah organisasi yang
bernama Persatuan Umat Islam (PUI) yang merupakan organisasi massa hasil fusi
antara PUI dan PUII.
Meskipun H. Ahmad Sanusi bermukim di
Mekkah selama sekitar lima tahun, namun tidak satu pun sumber yang mengatakan
pertemuannya dengan Syaikh Achmad Khatib. Walaupun tidak berguru kepada ulama
paling berpengaruh yang berasal dari Minangkabau itu, tidak berarti mengurangi
kualitas keilmuan yang dimiliki oleh H. Ahmad Sanusi. Malah sebaliknya, berdasarkan
tradisi lisan yang berkembangan di kalangan para ulama Sukabumi, H. Ahmad
Sanusi pernah menjadi imam shalat di Masjidil Haram. Jika cerita itu dapat
dipercaya kebenarannya, hal tersebut merupakan sebuah bukti atas pengakuan para
syeikh terhadap kedalaman ilmu dan pengetahuan agama yang dimiliki H.
Ahmad Sanusi. Bahkan seorang syeikh sampai mengatakan bahwa jika
seseorang yang berasal dari Sukabumi hendak memperdalam ilmu keagamaannya, ia
tidak perlu pergi jauh-jauh ke Mekkah karena di Sukabumi telah ada seorang guru
agama yang ilmunya telah mencukupi untuk dijadikan sebagai guru panutan yang
pantas diikuti . Meskipun tidak ada sumber pembanding, namun setidak-tidaknya
dapat dijadikan sebagai suatu gambaran atas pengakuan masyarakat terhadap
kedalaman ilmu keagamaan yang dimiliki oleh H. Ahmad Sanusi.
Selain berguru kepada para ulama yang
ada di Mekkah, H. Ahmad Sanusi pun secara kontinyu melakukan diskusi dengan
para santri atau mukimin lainnya yang ada di Mekkah. Dalam diskusi itu
dibicarakan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat, entah itu masalah
sosial, agama, budaya, dan sebagainya. Diskusi yang dilakukan oleh H. Ahmad
Sanusi tidak terbatas pada kalangan yang satu mazhab dengan H. Ahmad Sanusi.
Para santri atau mukimin yang beda mazhab pun selalu diundang atau dihampiri
oleh H. Ahmad Sanusi dan diajakan men-diskusikan masalah-masalah keagamaan,
sosial, dan politik. Hal tersebut yang menjadikan wawasan dan pengetahuan H.
Ahmad Sanusi menjadi lebih terbuka dan mendalam.
Dalam kegiatan-kegiatan diskusi itulah,
H. Ahmad Sanusi bertemu dengan seseorang yang bernama H. Abdul Muluk. Dalam
pertemuan yang terjadi sekitar tahun 1913 itu, H. Abdul Muluk memperlihatkan statuten
atau anggaran dasar Sarekat Islam (SI) kepada H. Ahmad Sanusi. Setelah statuten
itu didiskusikan, H. Abdul Muluk mengajak H. Ahmad Sanusi untuk bergabung
dengan Sarekat Islam (SI). Ajakan tersebut direspons positif oleh H. Ahmad
Sanusi dan meyakinkan H. Abdul Muluk bahwa dirinya setuju untuk bergabung
dengan Sarekat Islam (Iskandar, 1993: 4). H. Ahmad Sanusi bersedia bergabung
dengan Sarekat Islam karena organisasi tersebut dipandang memiliki tujuan yang
baik, yakni tujuan akhirat dan tujuan duniawi. Oleh karena itu, ia mau menerima
tawaran H. Abdul Muluk untuk menjadi anggota Sarekat Islam. Namun demikian,
proses penerimaannya sebagai anggota Sarekat Islam berbeda dengan anggota
lainnya karena H. Ahmad Sanusi tidak disumpah atau diba’iat (Proces Verbaal Hadji
Ahmad Sanoesi tanggal 7 Oktober 1919 dalam Koleksi R. A. Kern No. 278. KITLV).
Hal tersebut mungkin disebabkan H. Abdul Muluk tidak memiliki wewenang
memba’iat anggota baru sehingga ketika H. Ahmad Sanusi menyatakan bersedia
bergabung dengan Sarekat Islam, namanya langsung didaftarkan sebagai anggota
Sarekat Islam.
Peristiwa tersebut yang menghantarkan
H. Ahmad Sanusi untuk terlibat dalam bidang politik. Keterlibatannya di bidang
politik semakin jelas pada saat ia melakukan pembelaan bagi Sarekat Islam.
Pembelaan yang dilakukan oleh H. Ahmad Sanusi terhadap Sarekat Islam bermula
dari beredarnya sebuah surat tanpa identitas (surat kaleng) yang isinya menuduh
Sarekat Islam bukanlah sebuah organisasi yang berlandaskan Islam. Surat kaleng
itu tidak hanya diterima dan dibaca oleh H. Ahmad Sanusi, tetapi diterima juga
oleh Syaikh Achmad Khatib dan K. H. Muchtar, dua orang ulama Indonesia yang
bermukim di Mekkah. Bahkan, surat tersebut sampai juga ke tangan K. H. Moehamad
Basri dari Pesantren Babakan, Cicurug, Sukabumi. Menurut K. H. Moehamad Basri
surat itu ditulis oleh Sayyid Utsman Betawi karena ada kemiripan dari gaya
bahasanya.
B. Perdebatan
dengan Ulama Pakauman
Sifatnya yang tegas dalam berdakwah
mengakibatkan dirinya memiliki keberanian untuk menentang setiap hukum yang
dipandangnya tidak sejalan dengan Al Quran. Ia tidak akan melaksanakan fatwa
yang dikeluarkan oleh ulama selama fatwa tersebut dipandang tidak memiliki
landasan hukumnya. Oleh karena itu, tidak jarang ia terlibat perdebatan dengan
kaum ulama yang bekerja di lembaga keagamaan bentukan pemerintah kolonial.
Pada dasarnya, perdebatan K. H. Ahmad
Sanusi dengan ulama Pakauman, tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya
masayarakat Sukabumi dalam memandang ajaran-ajaran atau hukum Islam. Umumnya,
dalam memandang orientasi masyarakat terhadap praktik keagamaan, kita mengenal
dua kelompok yang saling bertentangan yakni kelompok modernis dan kelompok
tradisional. Kelompok pertama merupakan kelompok yang berusaha untuk
membersihkan praktik keagamaan dari hal-hal yang dianggapnya bid‟ah. Persyarikatan Ulama
(1911), Muhammadiyah (1912), dan Persatuan Islam (1923) dipandang sebagai
organisasi yang menyebarkan ide-ide pembaharuan di kalangan umat Islam di
Indonesia. Di bidang pendidikan, berdirinya Al Jami‟yyah Al Khairiyah (1905)
dan Al Irsyad (1914) merupakan eksponen dari gerakan pembaharuan di Indonesia
C. Konflik dengan Elite Birokrasi
Perdebatan K. H. Ahmad Sanusi dengan ulama
pakauman menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya konflik dengan
elit birokrasi. Betapa tidak, dengan kharismanya yang begitu kuat terpancar
dari dirinya, kalangan elite birokrasi merasa kewibawaannya di mata masyarakat
menjadi terancam. Dengan perkataan lain, dari perbedaan pendapat mengenai
masalah-masalah keagamaan, bergeser menjadi konflik pribadi karena perbedaan
pendapat tersebut berubah menjadi hasutan dan fitnahan. Oleh karena itu,
kalangan elite birokrasi berusaha dengan berbagai cara untuk menjauhkan K. H.
Ahmad Sanusi dari masyarakat Sukabumi.
Meskipun benih-benih konflik antara K.
H. Ahmad Sanusi dan elite birokrasi sudah ada ketika dirinya dikaitkan dengan
Peristiwa Cimareme 1919 serta adanya dampak negatif atas perdebatannya dengan
ulama pakauman yang dihembuskan oleh kalangan elite birokrasi, namun titik
pangkal konflik tersebut adalah perbedaan pandangan dalam tradisi mendo’akan
bupati setiap hari Jum’at. Tradisi ini memang tidak hanya terjadi di Sukabumi,
tetapi umum terjadi di Pulau Jawa. Dalam setiap pelaksanaan Shalat Jum’at,
setiap khatib diwajibkan untuk memanjatkan do’a bagi bupatinya. Bagi K. H.
Ahmad Sanusi, tradisi tersebut bukanlah sebuah kewajiban, malah menyarankan
tradisi tersebut tidak perlu dilakukan. Mendo’akan para pemimpin memang
diwajibkan dalam syariat Islam, tetapi yang dido’akan itu seorang pemimpin atau
raja yang adil dalam konteks ibadah Islam. Mendo’akan raja atau pemimpin Islam
yang dzalim hukumnya haram, apalagi mendo’akan bupati. Bupati bukanlah raja,
melainkan seorang pemimpin di suatu daerah yang dalam menjalankan
kepemimpinannya tidak berdasarkan syariat Islam. Ia diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah kolonial yang dikategorikan sebagai pemerintahan kafir. Oleh
karena itu, ia bekerja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melainkan
untuk menjaga kepentingan kolonialisme. Oleh karena itu, mendo’akan mereka
hukumnya haram karena tidak termasuk dalam konteks ibadah Islam.
Pandangannya tersebut yang kemudian
dikenal sebagai kasus abdaka maulana dianggap oleh para penguasa sebagai
rongrongan dan ancaman terhadap kedudukan serta kewibawaan mereka. Tegasnya, K.
H. Ahmad Sanusi dituduh akan merongrong kewibawaan mereka sehingga akan
berpotensi menganggu keamanan dan ketertiban. Tuduhan tersebut semakin menguat
seiring dengan adanya laporan yang menggambarkan pembangkangan masyarakat
terhadap aparat desa sepulangnya mereka dari pengajian yang digelar oleh K. H.
Ahmad Sanusi. Bahkan lebih dari itu, meskipun sudah tidak memiliki hubungan
organisasi dengan Sarekat Islam, para aktivis organisasi tersebut mempergunakan
pandangan K. H. Ahmad Sanusi dalam berbagai kegiatan pengajian dan
propagandanya.
Bab III
Berjuang dari Pembuangan
A.
Pengaduan Jamaah
Dengan alasan yang tidak begitu jelas,
sejak bulan November 1928 K. H. Ahmad Sanusi diasingkan ke Tanah Tinggi, Senen,
Batavia Centrum. Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, pengasingan
tersebut lebih didasarkan pada kekhawatiran terhadap pemikiran dirinya yang
dinilai pemerintah kolonial berpontensi menimbulkan rust en orde. Bukan
karena ia terlibat dalam suatu peristiwa tertentu, entah itu gerakan keagamaan
atau pemberontakan.
Selama menjalani pengasingannya di
Batavia Centrum itu, K. H. Ahmad Sanusi tidak lantas berpangku tangan atau
kemudian berubah pandangannya. Pengasingan tersebut justru telah membentuk
watak dan kepribadiannya semakin kuat untuk berjuang menegakkan kebenaran. Ia
terus berjuang melalui pemikirannya yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang
disebarkan kepada masyarakat sehingga pemikirannya pun menyebar di kalangan
masyarakat.
Meskipun sedang menjalani pengasingan
di tempat yang jauh dari kampung halamannya, namun pemerintah kolonial tidak
melarang dirinya bertemu dengan orang-orang yang sepaham dengan dirinya maupun
dengan orang-orang yang bertolak belakang dengan dirinya. Para santri dan
jamaah dari Sukabumi berdatangan ke Batavia Centrum untuk menjenguk kyai
kharismatik tersebut. Bahkan tidak hanya yang berasal dari Sukabumi, tidak
sedikit juga jamaah yang menjenguknya berasal dari daerah luar Sukabumi.
Para jamaah yang datng ke Tanah Tinggi, Batavia
Centrum ternyata bukan hanya sekedar menjenguknya. Mereka selalu membawa
permasalahan umat dan mendiskusikan dengan K. H. Ahmad Sanusi. Dengan perkataan
lain, para jamaah yang mendatangi dirinya memiliki dua tujuan, yakni menjenguk
dan mengadukan berbagai persoalan keagamaan. Puncak pengaduan para jamaah itu
terjadi seiring dengan semakin gencarnya usaha yang dilakukan oleh para
pembaharu Islam di wilayah Priangan Barat, termasuk Sukabumi.
Sebenarnya, pengaduan jamaah tentang ide-ide pembaharuan yang dibawa
oleh kaum mujadid bukanlah barang baru K. H. Ahmad Sanusi. Perdebatan dirinya
dengan kaum mujadid itu telah dilakukan oleh K. H. Ahmad Sanusi sejak tahun
1924. Jadi dengan demikian, sebelum diasingkan ke Batavia Centrum, perdebatan
yang dilakukan oleh K. H. Ahmad Sanusi tidak hanya dilakukan dengan ulama
pakauman saja, melainkan juga dengan kaum mujadid. Perdebatan itu
sendiri diawali dengan dilaksanakannya safari tabligh ke desa-desa yang
dilakukan oleh kaum mujadid untuk menyebarluaskan ide-ide pembaharuan mereka.
Sejak tahun 1926, safari itu semakin gencar dilakukan oleh kaum mujadid yang
tergabung dalam Majelis Ahlussunnah Cilame (MASC). Inti perdebatan itu
sendiri menyangkut masalah furu yakni cabang dalam masalah keagamaan (Bendera
Islam, 6 April 1926; 10 Mei 1926; Iskandar, 2001: 206).
Terhadap permasalahan keagamaan itu, K. H.
Ahmad Sanusi banyak melakukan perdebatan dengan beberapa orang ulama terkemuka
dari kalangan pembaharu, antara lain K. H. R. Muhammad Anwar Sanusi dari
Pesantren Biru Tarogong; K. H. R. Muhammad Zakaria dari Pesantren Cilame; K. H.
Jusuf Taujiri dari Pesantren Cipari; dan K. H. Romli dari Pesantren Haur
Koneng. Para Ajengan tersebut semuanya berasal dari Garut (Bendera
Islam, 13 Mei 1926; Al Hidajatoel Islamijjah, 20 Maret 1930).
Bahkan, K. H. Ahmad Sanusi pun pernah melakukan debat soal keagamaan dengan A.
Hasan, tokoh Persis dari Bandung, ketika ia telah mendirikan Al Ittihadul
Islamiyah.
B. Dunia
Pendidikan dan Penerbitan
Pengasingan
yang dijalani oleh K. H. Ahmad Sanusi memberikan dampak positif terhadap
dirinya. Selama menjalani pengasingannya di Batavia Centrum, ia menunjukkan
dirinya sebagai ulama yang produktif dalam menulis buku. Perjuangan dalam
menegakkan kebenaran dalam konteks ibadah Islam tidak hanya dapat dilakukan
dengan cara berdakwah secara langsung. Pemikiran-pemikirannya yang sedikit banyaknya
terpancing oleh adanya pengaduan dari para jamaah dituangkan oleh K. H. Ahmad
Sanusi dengan menulis buku. Hal tersebut mudah dipahami karena sebagai orang
yang sedang menjalani pengasingan, ruang geraknya sangat dibatasi. Sementara
itu, jika tidak menanggapi pengaduan-pengaduan para jamaah yang menyangkut
masalah keagamaan, maka masayarakat akan mengalami kebingunan dalam menjalankan
praktik-praktik keagamaannya. Oleh karena itu, ia menuliskan pemikirannya
dengan menerbitkan berbagai buku.
Selain itu, produktivitasnya dalam
penerbitan buku menunjukkan bahwa K. H. Ahmad Sanusi merupakan kyai tradisional
yang memiliki pikiran progresif. Ia tidak hanya berdiam diri sambil memegang
kuat keyakinan tradisionalnya. Ia memberikan suatu pembelaan terhadap para
ulama terdahulu yang menurut kaum mujadid pemikirannya tidak perlu dijadikan
bahan rujukan untuk ber-taqlid. Namun yang terpenting adalah meskipun ia
diasingkan ke Batavia Centrum sehingga meninggalkan para santri dan jamaahnya
di Sukabumi, proses pembelajaran terhadap mereka tetap dapat dilakukan oleh
dirinya. Pada hakikatnya, dia tetap melaksanakan proses mengajar tetapi dengan
menggunakan media berbeda.
Materi-materi keagamaan yang disampaikan
kepada para santri dan jamaahnya ddilakukan melalui sebuah buku. Tafsir Qur’an,
misalnya, ia secara rutin menuliskannya ke dalam beberapa buku (buletin) yang
secara rutin ia terbitkan di Batavia Centrum. Dengan demikian, meskipun ia
diasingkan dari lingkungan sosial-budayanya, namun ia tidak meninggalkan dunia
pendidikan. Proses pendidikan terhadap para santrinya tetap dapat dilakukan.
Para kyai yang menggantikannya di pesantren terlebih dahulu mendiskusikan
tafsir yang ditulis gurunya itu ketika menjenguknya ke Batavia Centrum.
Dari
menulis buku inilah, K. H. Ahmad Sanusi dapat bertahan hidup selama
pengasingannya di Batavia Centrum karena buku-bukunya itu banyak dibeli orang
(Sipahoetar, 1946: 73). Produktivitasnya dalam menulis buku diperlihatkan
dengan kemampuannya dalam menerbitkan buku yang jumlahnya mencapai ratusan
judul, seperti yang dilaporkan oleh dirinya kepada Pemerintah Militer Jepang
tahun 1942. Adapun buku-buku yang ditulis dan diterbitkan oleh K. H. Ahmad
Sanusi adalah sebagai berikut.
A. Buku yang ditulis
dalam Bahasa Sunda
Beberapa buku yang ditulis K.H. Ahmad Sanusi
dalam bahasa Sunda adalah sebagai berikut.
1. Al loe,
loeoennadid (Menerangakan Bahasan Ilmoe Taoehid)
2. Matan Ibrohiem
Badjoeri Gantoeng Logat
3. Matan Sanoesi
Gantoeng Logat
4. Madjma‟oel Fawaid (Tardjamah Qowaidoel Aqoid)
5. Taoehidoel
Moeslimien
6. Tardjamah Risalah
Qoedsijah
7. Tardjamah
Djauharotoettaoehid
8. Tidjanul Gilman (Elmoe
Tadjwied Qoeran)
9. Hiljatoellisan
10. Tardjamah Fiqih
Akbar karangan Imam Hanafi, dan masih banyak lainnya.
B. Buku yang ditulis
dalam Bahasa Melayu
1. Tafsier
Maldjaoettolbien (1 Boekoe)
2. Fadoiloel Kasbi (Bab
Kasab dan Ichtiar)
3. Mifatahoerrohmah (Bab
Hadijah)
4. Tamsjijjatoel
Moeslimin (53 Boekoe dari 7 ½ Djoez Qoeran)
5. Bab Woedloe
6. Bab Bersentoeh
7. Lidjamoel Goeddar
(Bab Ajah Boenda Nabi)
8. Jasin Waqi‟ah di
Gantoeng Loegat dan Keterangannja
9. Asmaoel Hoesna
dengan ma‟nanja serta Choesoesijatnja
10. Tahdziroel Afkar
(Menolak Kitab Tasfijatoel Afkar), dan masih
banyak lainnya.
Gambar 2 : Buku Karya K. H. Ahmad
Sanusi
Tentang Mukjizat Nabi
Muhammad SAW
Sumber : Buku Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad
Sanusi
Gambar 3 : Kitab Al ‘Uhud fil Hudud Karya K. H. Ahmad
Sanusi
Bab IV
Menjadi Tahanan Kota
A. Berjuang di
Sukabumi
Meskipun aktivitas para anggota AII terutama di Sukabumi semakin
meningkat, namun pemerintah kolonial tidak dapat mengambil tindakan yang
berarti. Pemerintah kolonial mengalami kesulitan untuk membekukan kegiatan AII
karena pemimpinnya masih ditahan di Batavia Centrum. Oleh karena itu, meskipun
sebagian besar aparat pemerintahan di Sukabumi begitu mengkhawatirkan perkembangan
AII, namun pemerintah kolonial hanya bisa bersikp sampai pada mengawasi secara
ketat aktivitas AII.
Kekhawatiran
mendalam dari kalangan birokrat melahirkan keyakinan bahwa salah satu cara yang
efektif untuk menghambat perkembangan AII adalah menjauhkan K. H. Ahmad Sanusi
dari lingkungan jamaahnya. Oleh karena itu, mereka mendesak Pemerintah Hindia
Belanda untuk tetap mengasingkan K. H. Ahmad Sanusi di Tanah Tinggi 119,
Batavia Centrum. Rencana Pemerintah Hindia Belanda membebaskan K. H Ahmad
Sanusi ditentang dengan keras oleh para pejabat lokal. Mereka mengatakan bahwa
ketentraman dan keamanan di Sukabumi tidak dapat dijamin kalau Pemerintah
Hindia Belanda mengembalikan K. H. Ahmad Sanusi ke Sukabumi.
Rupa-rupanya,
para pejabat setempat menilai pengaruh Ajengan Genteng yang begitu besar
bagi masyarakat Sukabumi dapat dimanfaatkan oleh kaum pergerakan nasional. Jika
hal itu dibiarkan maka kewibawaan pemerintah di mata masyarakat akan hancur dan
ini merupakan ancaman besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolonialisme
mereka. Dengan mempertimbang-kan kondisi itu, Gubernur Jawa Barat menyarankan
agar Pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niatnya membebaskan K. H. Ahmad
Sanusi dari pengasingannya di Batavia Centrum. Saran tersebut didukung oleh
Direktur Binnenlands Bestuur yang mengirim surat kepada Gubernur
Jenderal de Jonge tanggal 24 Oktober 1933. Isi surat itu senada dengan surat
Gubernur Jawa Barat yakni terlalu beresiko bagi pemerintah kalau K. H. Ahmad Sanusi
dibebaskan dari pengasingannya.
Meskipun
suara umum yang berkembang di kalangan pemerintahan menginginkan kondisi
seperti itu, namun ada juga yang berpandangan lain. Mereka menilai bahwa sudah
saatnya K. H. Ahmad Sanusi dibebaskan dari pengasingannya dan dikembalikan ke
Sukabumi. Salah seorang pajabat yang berpandangan seperti itu adalah Gobee,
yang pada waktu berkedudukan sebagai Pensihat Pemerintah untuk Urusan
Bumiputera. Akan tetapi, pandangannya tersebut tidak dapat diterima sehingga pemerintah
tetap mengasingkan K. H. Ahmad Sanusi di Batavia Centrum.
Memasuki
tahun 1934, kelompok birokrat yang berpandangan bahwa sudah saatnya K. H. Ahmad
Sanusi dibebaskan sebagai cara untuk menghambat perkembangan AII, semakin
menguat. Pada tanggal 5 Februari 1934, Gobee mengirim surat kepada Gubernur
Jenderal de Jonge yang mengatakan bahwa kekhawatiran para pejabat setempat,
terutama para ulama pakauman, terhadap perkembangan AII lebih disebabkan oleh
kuatnya sentimen pribadi mereka terhadap kelebihan yang dimiliki oleh K. H.
Ahmad Sanusi. Sentimen itu lahir karena memang kecerdasan K. H. Ahmad Sanusi
melebihi kecerdasan yang dimiliki oleh ulama pakauman. Sebagai ahli tafsir,
pemikiran-pemikirannya tidak dapat diimbangi oleh ulama pakauman sehingga kalau dibiarkan akan
menggoyahkan kewibawaan mereka di mata masyarakat.
B.
Kontak dengan Para Pejuang Nasional
K. H. Ahmad Sanusi berhasil membesarkan AII sehingga organisasi
tersebut berkembang sampai di luar Sukabumi. Perkembangan tersebut acapkali
membuat sikap anggotanya menjadi lebih militan bahkan cenderung membandel
kepada pemerintah. Akan tetapi, sikap militan yang diperlihatkan oleh para
anggota AII tidak lantas berubah menjadi kerusuhan yang membuat pemerintah
kolonial mengambil tindakan pembekuan terhadap aktivitas AII. Dengan perkataan
lain, K. H. Ahmad Sanusi berhasil menanamkan ajaran untuk berani mengemukakan
pendapat selama didukung oleh dalil-dalil Al Qur’an. Kekerasan bukan tujuan
didirikannya AII, meskipun watak dan kepribadian K. H. Ahmad Sanusi begitu
keras. Di lain pihak, pemerintah kolonial tidak memperlihatkan itikad untuk
membebaskan K. H. Ahmad Sanusi dari statusnya sebagai tahanan kota.
Pejabat-pejabat Belanda yang menginginkan status K. H. Ahmad Sanusi segera
dicabut, tidak mampu meyakinkan pejabat yang menginginkan Ajengan tersebut
tetap ditahan.
Pergantian
Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari B. C. de Jonge kepada A. W. L. Tjarda
tahun 1936 tidak memberikan tanda bahwa pemerintah kolonial akan segera
membebaskan K. H. Ahmad Sanusi dari statusnya sebagai tahanan kota. Harapan
pembebasan tersebut muncul karena perbedaan kebijakan di antara kedua gebernur
jenderal tersebut. Gubernur Jenderal de Jonge menjalankan pemerintahan dengan
sikap keras dan kaku sehingga masa pemerintahannya (1931-1936) dipandang
sebagai masa pemeritahan yang terburuk. Ia mendorong gerakan politik Indonesia
ke arah non-kooperasi sehingga memiliki alasan untuk memberangus kegiatan
politik kaum pergerakan nasional. Sementara itu, Tjarda diyakini sebagai
gubernur jenderal yang berpaham liberal sehingga akan memberikan angin segar
bagi kaum pergerakan nasional.
Meskipun
gubernur jenderal telah dipegang oleh Tjarda, namun pada umumnya kebijakan
pemerintahan tidaklah terlalu berubah secara signifikan. Keadaan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa orang-orang reaksioner yang duduk di
pemerintahan masih sangat berpengaruh. Gobee pun masih sependapat dengan
Gubernur Jawa Barat bahwa status K. H. Ahmad Sanusi sebagai tahanan kota masih
perlu dipertahankan. Sementara itu, upaya PB AII untuk memperjuangkan kebebasan
pemimpinnya terhambat oleh tuduhan bahwa K. H. Ahmad Sanusi memiliki hubungan
khusus (politik) dengan orang-orang Jepang. Tuduhan tersebut cukup serius
karena pada akhir tahun 1930-an, hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan
Pemerintah Jepang semakin memburuk. Orang-orang Jepang yang ada di Indonesia
begitu dicurigai sebagai mata-mata sehingga siapapun yang berhubungan dengan orang Jepang, ia
akan dicurigai sebagai mata-mata Jepang.
Bab V
Zaman Pendudukan
Jepang
A. Sukabumi di Bawah
Kekuasaan Jepang
Ketika Kemaharajaan Jepang menyatakan perang kepada Amerika Serikat dan
Inggris yang ditandai dengan serangan terhadap Pearl Harbour pada 8 Desember
1941, pecahlah Perang Asia Timur Raya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menyatakan perang terhadap Jepang sehingga terjadilah mobilisasi angkatan
bersenjata. Kekuatan militer Hindia Belanda ternyata tidak mampu membendung
gerakan ofensif militer Jepang sehingga dalam waktu yang singkat, satu per satu
wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Di Jawa Barat, Jepang mendarat di Banten dan
Eretan. Dari arah Banten-lah, pada hari Jum’at tentara Jepang memasuki Kota
Sukabumi. Mereka membombardir Kota Sukabumi dari Cibadak.
Pada
awal tahun 1943, pendekatan Jepang terhadap golongan Islam semakin gencar dilakukan.
Tujuannya jelas untuk memobilisasi umat Islam membantu Jepang dalam Perang Asia
Timur Raya. Kolonel Horie, pimpinan Shumubu, mengutus beberapa stafnya
untuk menemui sejumlah ulama terkemuka di Pulau Jawa, antara lain H. Abdul
Muniam Inada. Ia menemui K. H Ahmad Sanusi di Pesantren Gunung Puyuh agar mau
bekerja sama membangun Lingkungan Kemakmuran Asia Timur Raya.Sementara itu,
setelah ormas Islam dibubarkan, termasuk AII, dan MIAI dipandang tidak optimal
dalam memobilisasi umat Islam, Pemerintah Militer Jepang mendirikan Madjelis
Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi) pada Oktober 1943.
Pada
dasarnya, K. H. Ahmad Sanusi tidak menolak tawaran kerja sama tersebut. Sikap
kooperatif yang diperlihatkan oleh K. H. Ahmad Sanusi bukan berarti ia berposisi
sebagai boneka Jepang. Kerja sama dengan Jepang yang ia perlihatkan semata-mata
sebagai bentuk strategi dalam perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari penguasaan bangsa
asing. Bangsa Jepang memiliki berbagai keunggulan khususnya di bidang militer.
Keunggulan tersebut hanya dapat dimanfaatkan kalau bangsa Indonesia
berpura-pura bekerja sama dengan Jepang. Hal tersebut ditegaskan oleh K. H.
Ahmad Sanusi kepada Soekarno ketika Ketua Poetera itu berkunjung ke Pesantren
Gunung Puyuh pada saat ia sedang dirawat dr. Abu Hanifah di Rumah Sakit St.
Ludwina, Sukabumi.
Pada
awal Mei 1943, Jepang mengumumkan akan menyelenggarakan Latihan Kiai di
Jakarta. Kegiatan yang dikoordinasi dan diawasi secara langsung oleh Shumubu
tersebut akan diikuti oleh para kiai dari setiap syu dengan tujuan
hendak “menyuntikkan semangat baru” di kalangan kiai. Untuk merealisasikan
rencana itu, para pejabat Shumubu melakukan pembicaraan dengan para
pemuka Islam di Hotel Des Indes. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan para kiai
yang akan menjadi instruktur dalam kegiatan Latihan Kiai. Salah seorang kiai
yang direkomendasikan adalah K. H. Ahmad Sanusi yang menurut pandangan Harry J.
Benda seorang kiai ortodoks terkemuka yang memiliki keahlian di bidang tafsir
Al Qur’an. Latihan Kiai itu sendiri diselenggarakan tanggal 1 Juli 1943 dan K.
H. Ahmad Sanusi tercatat sebagai salah seorang pengajar dalam kegiatan tersebut
bersama-sama dengan H. Agus Salim, Dr. Amrullah, Dr. Prijono, Mr. Ahmad
Soebardjo, dan Hoesein Iskandar yang didampingi para pengajar
berkebangsaan Jepang (Asia Raja, 7 Juli 1943). Ahmad Mansur Suryanegara
(1996: 140) mengatakan bahwa Latihan Ulama itu diselenggarakan pada 1 Februari
1944 di Kantor Masjoemi Jalan Imamura No. 1 Jakarta. Selain K. H. Ahmad Sanusi,
yang menjadi pengajar dalam kegiatan itu adalah K. H. Mohammad Adnan dari
Mahkamah Tinggi Islam dan H. Agus Salim.
Pada
1 Agustus 1943, Letnan Jenderal Kumaichi Harada mengumumkan bahwa bangsa
Indonesia akan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam struktur
pemerintahan militer Jepang. Dua posisi yang akan diisi oleh bangsa Indonesia
yaitu sebagai anggota Dewan Penasihat Pusat (Chuo Sangi In) dan Dewan
Penasihat Daerah (Shu Sangi Kai) serta penasihat tertinggi (sanyo)
di setiap departemen. Terkait dengan itu, Pemerintah Militer Jepang pada
Oktober 1943, mengangkat K. H. Ahmad Sanusi sebagai anggota Dewan Penasihat
Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai).
Sebelum
menerima kedudukan sebagai Giin Bogor Shu Sangi Kai, K. H. Ahmad Sanusi
mengajukan syarat kepada Pemerintah Militer Jepang, yakni meminta agar AII
dihidupkan kembali. Pemerintah Militer Jepang tidak keberatan atas syarat
tersebut selama K. H. Ahmad Sanusi mau mengubah anggaran dasarnya. Untuk
kepentingan yang lebih luas, K. H. Ahmad Sanusi mengubah anggaran dasar AII
sehingga mencerminkan memahami dan menerima tujuan-tujuan Persemakmuran Asia
Raja. Perubahan anggaran dasar itu dapat memuaskan Pemerintah Militer Jepang
sehingga sejak tanggal 1 Februari 1944, AII dihidupkan kembali bersama-sama
dengan Persjarikatan Oelama pimpinan K. H. Abdul Halim dari Majalengka. Nama
AII kemudian diubah menjadi Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII) (Asia
Raja, 4 Februari 1944; Benda, 1980: 303; Tjahaja, 5 Februari 1944).
Sejak akhir Mei 1944, K. H Ahmad Sanusi dan K. H. Abdul Halim diangkat menjadi
wakil POII dan POI dalam Masjoemi. Bahkan K. H.Ahmad Sanusi kemudian
duduk di jajaran pengurus Masjoemi.
Dengan
berdirinya POII, K. H. Ahmad Sanusi dapat melakukan kembali aktivitasnya sebagai
seorang ajengan. Berbagai ceramah atau tabligh diselenggarakan oleh POII
dan dalam penyelenggaraannya tidak mendapat hambatan berarti dari Jepang. Kempeitei
hanya sebatas mengawasi kegiatan mereka saja. Di lingkungan Pesantren
Gunung Puyuh, kegiatan para santri tidaklah berhenti. Setiap hari para santri
diberi pelajaran tambahan, yakni bela diri dan pelajaran baris berbaris.
Penghormatan kepada Kaisar Jepang (seikerei) pun dilaksanakan, tetapi
dengan niat bukan untuk menyembah tenno. Seikeirei hanya dilakukan
sebatas membungkukan badan semata tanpa disertai ucapan apapun. Para santri dan
Pengurus Besar AII melakukan seikerei. K. H. Ahmad Sanusi tidak pernah
melakukan seikerei, tetapi tidak pernah ditangkap dan ditahan oleh
Pemerintah Militer Jepang. Sementara itu, bela diri diberikan kepada para
santri sebagai upaya membentuk fisik dan mental yang tangguh.
Meskipun
POII telah berdiri, namun K. H. Ahmad Sanusi tidak secara total dapat mengurus
organisasi tersebut. Hal tersebut terkait dengan kebijakan Pemerintahan Militer
Jepang yang pada akhir tahun 1944, memperluas pasrtisipasi bangsa Indonesia
dalam struktur pemerintahan militer. Beberapa wakil residen (yang baru
dibentuk) dan wai kota diberikan kepada bangsa Indonesia dari golongan
nasional. Hal ini menandakan bahwa kaum nasionalis-lah yang akan bertindak
sebagai ahli waris apabila Jepang menyerah dalam Perang Asia Timur Raya.
Meskipun demikian, kaum nasionalis tersebut tidak juga dapat melepaskan diri
dari pengaruh kiai. Petunjuk ke arah itu dapat dilihat dari persetujuan K. H.
Ahmad Sanusi terhadap rencana pengangkatan Mr. Samsudin sebagai Wali Kota
Sukabumi. Dengan persetujuan itu, sejak tanggal 2 November 1944, Mr. Samsudin
diangkat sebagai Wali Kota Sukabumi. Satu bulan kemudian, Pemerintah Militer
Jepang mengangkat K. H. Ahmad Sanusi sebagai Wakil Residen (Fuku Syucokan)
Bogor. (Kan Po, 25 November 1944 dan 10 Desember 1944; Benda, 1980: 218;
321). Ia merupakan satu-satunya ulama tradisional yang memegang jabatan
eksekutif dalam struktur pemerintahan militer Jepang.
B. Hubungan dengan
Peta
Dengan keluarnya Osamu Seirei No. 44 itu, secara serentak di
berbagai daerah mulai dibentuk Tentara Peta. Meskipun yang mengajukannya
seorang nasionalis, namun ternyata respons dari kalangan ulama begitu besar.
Bahkan di antara mereka ada jugayang menduduki jabatan-jabatan komandan di
berbagai kesatuan Peta.
Di
Keresidenan Bogor (Bogor Syu), pemerintah setempat meminta K. H. Ahmad
Sanusi untuk membentuk Tentara Peta. Permintaan itu wajar dilakukan mengingat Ajengan
Gunung Puyuh itu memiliki pengaruh yang sangat besar. Sementara itu,
permintaan itu disanggupi oleh dirinya karena pembentukan Tentara Peta merupakan
pintu masuk bagi tujuannya yakni meminta Jepang melatih bangsa Indonesia di
bidang militer.
K.
H. Ahmad Sanusi kemudian mengumpulkan para ulama dan mu’alim yang ada di
wilayah Bogor Syu di Pesantren Gunung Puyuh. Dalam pertemuan itu, K. H.
Ahmad Sanusi mendiskusikan keputusan Pemerintah Militer Jepang untuk membentuk
Tentara Peta. Para ulama yang menghadiri pertemuan tersebut, sepakat dengan K.
H. Ahmad Sanusi untuk sesegera mungkin membentuk Tentara Peta di wilayah Bogor Syu.
Kesepakatan Gunung Puyuh itu segera ditindaklanjuti dengan melaporkannya kepada
Pemerintah Militer Jepang. Bertempat di Pesantren Gunung Puyuh, pemerintah
mulai membuka pendaftaran bagi bangsa Indonesia yang ingin menjadi calon
perwira Tentara Peta. Sementara itu, untuk mengisi jabatan komandan, K. H.
Ahmad Sanusi telah mempersiapkan beberapa orang kiai, antara lain Acun Basyuni
dan Abdullah bin Nuh.
C. Menjadi Anggota BPUPKI
Pada 28 Mei
1945, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diresmikan
oleh Pemerintah Militer Jepang bertempat di Gedung Cuo Sangi In (sekarang
menjadi Gedung Departemen Luar Negeri RI). Peresmian itu dilanjutkan dengan
pelantikan ketua dan para anggota BPUPK yang diiringi dengan pengibaran bendera
Merah Putih dan Hinomaru. Meskipun K. H. Ahmad Sanusi bukan anggota Chuo
Sangi In, melainkan Fuku Syucokan Bogor, namun Pemerintah Militer
Jepang mengangkatnya sebagai anggota badan tersebut. Dalam setiap persidangan,
ia menempati kursi nomor 36 bersebelahan dengan R. Soekardjo Wirjopranoto.
Keberadaan
K. H. Ahmad Sanusi di BPUPKI tidak hanya sebatas duduk dan mendengarkan para
pemimpin bangsa melontarkan ide-idenya tentang negara Indonesia merdeka. Selama
BPUPKI melangsungkan persidangan yang membicarakan masalah bentuk negara dan
rancangan undang-undang bagi negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk, K. H.
Ahmad Sanusi memperlihatkan kualitas yang tidak kalah dengan kelompok
nasionalis yang berpendidikan barat. Ia pun memberikan usul dan gambaran mengenai
bentuk negara Indonesia merdeka yang ideal beserta dengan batas-batasnya.
Pengetahuannya yang luas tersebut terungkap dalam persidangan BPUPKI tanggal 10
Juli 1945.
Bab VI
Perjuangan pada
Masa Kemerdekaan Indonesia
Di
tengah-tengah kesibukannya sebagai anggota KNIP, K. H. Ahmad Sanusi berupaya
mempersiapkan para santrinya dan masyarakat umum untuk mempertahankan
kemerdekaan. Untuk menunjang itu, Barisan Islam Indonesia (BII), yang didirikan
oleh K. H. Ahmad Sanusi tahun 1937, dijadikan sebagai laskar perjuangan. Mereka bermarkas di
Pesantren Gunung Puyuh dan langsung dipimpin oleh K. H. Ahmad Sanusi. Selain
itu, K. H. Ahmad Sanusi pun membentuk Hizbullah dan menyerahkan tampuk
pimpinannya kepada salah seorang anaknya, K. H. Damanhuri, yang berpengalaman
dalam memimpin BII. Sama halnya dengan BII, Hizbullah pun menjadikan Pesantren
Gunung Puyuh sebagai markas besarnya.
Dengan
dijadikannya BII dan Hizbullah sebagai laskar perjuangan, K. H. Ahmad Sanusi
telah mempersiapkan para pejuang yang akan mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia. Kemerdekaan itu memang perlu dipertahankan oleh segenap bangsa
Indonesia karena baik Jepang maupun Sekutu tidak pernah mengakui Kemerdekaan
Indonesia. Kenyataan inilah yang melahirkan Perang Kemerdekaan yang berlangsung
dari tahun 1945 sampai tahun 1949. Selama berkecamuknya Perang Kemerdekaan, K.
H. Ahmad Sanusi ikut berjuang mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan,
antara lain dalam peristiwa pertempuran di Bojongkokosan
Ketika
Pemerintah RI sepakat dengan NICA untuk menandatangani Perjanjian Renville
tahun 1948, sebagai anggota KNIP, K. H. ikut hijrah ke Yogyakarta. Hijarh
tersebut dilakukan karena berdasarkan perjanjian itu, aparat pemerintah dan
para pejuang kemerdekaan harus meninggalkan wilayah Belanda. Akibat Agresi
Militer I, wilayah Jawa Barat jatuh ke tangan Pasukan Belanda sehingga dianggap
sebagai wilayah kekuasaan mereka. Sementara itu, akibat hijrah itu, Sukabumi
tidak memiliki kekuatan bersenjata. Pasukan Hizbullah-lah yang menjaga Sukabumi
sehingga mereka dapat menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tidak diketahui memang, bagaimana aktivitas K. H. Ahmad Sanusi di
Yogyakarta. Akan tetapi, sebagai seorang ulama pejuang, aktivitasnya tidak akan
jauh dari berdakwah untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia
dengan tegas akan mempertahankan Negara Republik Indonesia yang dimerdekakan
pada 17 Agustus 1945. Salah petunjuknya adalah ketegasannya dalam menolak
keberadaan DI/TII yang dipimpin oleh R. M. Kartosuwiryo. Secara pribadi, ia
menolak keberadaan DI/TII karena banyak yang menyimpang dari hukum Islam.
Mislanya, hak veto yang dimiliki Kartosuwiryo sebagai Imam DI/TII bertentangan
dengan hukum Islam. Hukum Islam tidak memberikan hak seperti itu kepada seorang
imam. Keputusannya itu, diikuti oleh beberapa orang ulama, antara lain K. H.
Yusuf Taujiri dari Pesantren Cipari, Garut.
Cita-citanya
yang ingin mempersatukan POII dengan POI dilanjutkan oleh anak-anaknya dan para
santrinya. Usaha itu terwujud seiring dengan terbentuknya Persatuan Ummat Islam
pada 5 April 1952. Sementara itu, untuk menghargai perjuangannya, pemerintah
mengabadikan namanya sebagai nama sebuah jalan di Kota Sukabumi. Jalan K. H.
Ahmad Sanusi merupakan jalan propinsi yang terletak pada jalur Sukabumi-Bogor.
Selain itu, ia pun diakui sebagai pejuang yang simbolnya (replika bambu runcing
dan bendera merah putih) ditancapkan di dekat makamnya. Penghargaan lain yang
diberikan oleh Pemerintah RI adalah penganugerahan Bintang Mahaputera Utama
yang diterima K. H. Ahmad Sanusi pada 12 Agustus 1992.