Rabu, 16 November 2016

ROHIS (Rohani Islam) Sejati SMK PUI Jatibarang

Rohani Islam (disingkat Rohis) adalah sebuah organisasi memperdalam dan memperkuat ajaran Islam. Rohis sering disebut juga Dewan Keluarga Masjid (DKM).  Rohis biasanya dikemas dalam bentuk ekstrakurikuler di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Fungsi Rohis adalah forum, pengajaran, dakwah, dan berbagi pengetahuan Islam. Susunan dalam Rohis layaknya OSIS, di dalamnya terdapat ketua, wakil, bendahara, sekretaris, dan divisi-divisi yang bertugas pada bagiannya masing-masing. Ekskul ini memiliki juga program kerja serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Rohis mampu membantu mengembangkan ilmu tentang Islam yang diajarkan di sekolah.

Sejarah Singkat
            
ROHIS SMK PUI Jatibarang berdiri pada tanggal 17 November 2013, atas gagasan atau ide Bapak Ustadz Ahmad Muzanu Djamil dan Bapak Jhoni, yang menginginkan adanya pembentukan kepengurusan ROHIS SMK PUI Jatibarang untuk mengurusi bidang kerohanian, bersmaan dengan itulah ROHIS SMK PUI Jatibarang dibinai oleh Bapak Endang Rianto, S.Pd, S.Pd I sebagai Pembina ROHIS pertama dan disahkan oleh kepala SMK PUI Jatibarang, yaitu Bapak Drs. H, M, Rawi, M.Si. Dalam bentuk structural Organisasi ROHIS periode pertama dibinai oleh Bapak Endang Rianto, S.Pd, S.Pd I dan di ketuai oleh Supriyadi Rasito, yang beranggotakan 8 orang. Pada periode kedua, Organisasi Organisasi ROHIS dibina oleh Bapak Masduki dan diketuai oleh Wahid Nur Jaelani, yang beranggotakan 14 orang. Pada periode ketiga Organisasi ROHISdiketuai oleh Tanzilal Azr, yang beranggotakan 18 orang. Sampai saat ini, ROHIS masih tetap eksis dalam lingkungan SMK PUI Jatibarang.
            ROHIS adalah sebuah organisasi yang mempelajari ilmu tentang kaidah-kaidah Islam yang beretujuan untuk menjadikan pribadi yang lebih cerdas dan religious, adapun untuk kedudukan ROHIS SMK PUI Jatibarang sendiri dibawah naungan HIJAR PUI (Himpunan Pelajar Persatuan Ummat Islam) yang bergerak di bidang kerohanian.
            Dalam membantu pembentukan jiwa kepemimpinan dan berkarakter religius, seorang pelajar harus benar-benar bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk sehingga bisa melaksanakan hak dan kewajibannya. Agar dalam pengambilan langkah dan keputusan di dasari syariat Islam, oleh karena itu ROHIS di dalam lingkungan pendidikan (sekolah) sangatlah berperan penting sebagai pengembanmg nalar.

Visi, Misi dan Tujuan

A. Visi
Terwujudnya pemimpin dan pendakwah muda yang berkarakter shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh serta membentuk kekeluargaan yang menjunjung tinggi nilai ukhuwah Islamiyah diantara sesame muslim/muslimah.
B. Misi
1.      Sebagai panutan dalam melaksanakan amal shaleh
2.      Sebagai pelaksanaan dakwah dan pembentukan karakter pemimpin
3.      Sebagai wadah untuk memperdalami agama Islam
4.      Sebagai wujud pendekatan dan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya
C. Tujuan
1.      Menyiapkan kader-kader muslim/muslimah yang siap menjadi pendakwah berdasarkan syar’i
2.      Menjadikan sosok pemimpin yang religius
3.      Menciptakan kekerabatan dan kekeluargaan yang baik diantara sesama muslim/muslimah
4.     Mendidik agar lebih peduli pada keutuhan agama Islam

Moto

Motto ROHIS Sejati SMK PUI Jatibarang : “Dimana pun, kapan pun siap sedia”
   
Janji Setia ROHIS SMK PUI Jatibarang

Janji setia ROHIS Sejati SMK PUI Jatibarang :
1.      Kami berjanji akan menjadi pelajar sejati yang taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
2.      Kami berjanji akan menjadi pelajar sejati yang siap menegakkan Kalimatullah.
3.      Kami berjanji akan menjadi pelajar sejati yang mengedapankan ukhuwah Islamiyah di antara sesame mulim.
4.      Kami berjanji akan menjadi pelajar sejati yang siap menjadi contoh tauladan bagi pelajar lain dengan akhlaq yang baik.
5.      Kami berjanji akan menjadi pelajar sejati yang siap memajukan sekolah dan organisasi ROHIS SMK PUI Jatibarang.

Logo ROHIS Sejati SMK PUI Jatibarang


Filosofi Logo ROHIS Sejati SMK PUI Jatibarang :
Pentagon (segi 5) : 5 pilar rukun Islam
Logo PUI             : simbol Persatuan Ummat Islam
Buku/kitab           : sumber ilmu pengetahuan
Pena bulu angsa   : pena penulis ilmu pengetahuan
Sastri                    : 3 landasan pokok, iman, Islam, dan ikhsan
Sejati                     : manusia/pelajar yang taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya
Dasar Warna
Hijau    : lemah lembut dalam mencari kebaikan/kebijakan
Hitam   : orang yang penuh akan ilmu pengetahuan
Biru      : kesejatian tekad dalam mengamalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Kuning : menghias diri dengan ilmu akan menjadi penerang dalam hidupnya
Orange  : amalan yang tidak terputus (ilmu yang bermanfaat
Putih     : sejatinya manusia adalah fitrah, apabila menuruti akal dan pikiran

Kegiatan-Kegiatan ROHIS Sejati SMK PUI Jatibarang

Kegiatan mingguan
1.      Infaq shadaqah setiap hari Jumat
2.      Seni Hadrah
3.      Tadarus Al-Quran
Kegiatan bulanan
1.      Road show hadrah (seni hadrah keliling)
2.      Istighasah
Kegiatan tahunan
1.      Pengukuhan anggota baru ROHIS
2.      Peringatan tahun baru Islam
3.      Peringatan Maulid Nabi
4.      Peringatan Isra Mi’raj
5.      Sidang Muberis (Musyawarah Besar ROHIS)
6.      Pemilihan kepengurusan ROHIS

Galeri Kegiatan ROHIS Sejati









Kamis, 06 Oktober 2016

Duduk di Bangku Kelas X TSM 1 Tahun Pelajaran 2016/2017

        Pada saat saya di terima menjadi peserta didik baru SMK PUI Jatibarang pada tanggal 18 Juli 2016, saya di terima di kelas X TSM 1. Di kelas tersebut, saya untu pertama kalinya duduk di bangku STM/SMK.
        Di kelas X TSM 1 dipimpin oleh wali kelasnya adalah Ibu Dewi Kusumaningrum, S.Pd, dan pimpinan ketua kelasnya pada saat itu adalah saya. Sementara wakil ketuanya adalah Moh. Wahid, bendahara Dede & Tuti, sekretaris Galang Hadi.
        Selain menjadi Ketua Kelas, saya juga diangkat menjadi MPK (Majelis Perwakilan Kelas) oleh Organisasi Hijar PUI (Himpunan Pelajar Persatuan Ummat Islam) SMKPUI Jatibarang.

     

Senin, 12 September 2016

SMK PUI Jatibarang

SMK PUI Jatibarang berdiri tahun 1987. Merupakan salah satu Sekolah Kejuruan tertua di Kabupaten Indramayu yang bergerak dalam bidang Otomotif. saat itu, wilayah Indramayu masih sedikit sekali sekolah-sekolah kejuruan.
SMK PUI Jatibarang beralamat di Jl. Letnan Joni (By Pass) No. 19, yaitu jalan pintu gerbang Kabupaten Indramayu menuju Kabupaten Cirebon.
Pada awalnya SMK PUI Jatibarang bernama STM PUI Jatibarang, yaitu Sekolah Kejuruan Teknik Otomotif, sekolah yang bertujuan membentuk, melatih dan membina siswanya, untuk menjadi seorang tenaga Teknisi yang handal dalam bidang otomotif.
Awal berdiri mempunyai satu jurusan, yaitu Otomotif (sekarang otomotif di pecah menjadi TKR, TSM, TKB, dan BO). Seiring perkembangan zaman, dunia otomotif terus melaju dengan pesat, maka di bukalah jurusan baru untuk menjaring minat dan bakat siswa sesuai dengan keinginannya, yaitu Jurusan Teknik Sepeda Motor dan Teknik Komputer Jaringan.

Kepemimpinan SMK PUI Jatibarang dari awal berdiri sampai sekarang sudah mengalami pergantian empat kali. Yang Pertama adalah Bapak Asnawi Hadi, dari tahun 1987 – 1998, Kemudian Bapak Drs. H. Jamhari Haryanto, Tahun 1998 – 2008, Drs. H. M. Rawi, Msi tahun 2008 - 2013 dan sekarang Ibu Dra. Hj. Nur Aslihati.
Foto Dra. Hj. Nur Aslihati (Kepala SMKPUI Jatibarang)

Perkembangan SMK PUI Jatibarang semakin hari semakin terus maju, sadar betul bahwa SMK PUI Jatibarang adalah sebuah sekolah yang bernaung di bawah yayasan Persatuan Umat Islam, maka dalam proses KBM dan muatan Kurikulumnya lebih menekankan muatan keagaman. Yang tujuan utamanya adalah membentuk karakter islami bagi para lulusannya. Lulusan yang handal dalam bidang Teknologi dan selalu taat menjalankan perintah agama dan selalu menjauhi larangannya.

Di SMK PUI Jatibarang, saya masuk di jurusan TSM (Teknik Sepeda Motor). Saya diterima menjadi peserta didik SMK PUI Jatibarang pada tahun 2016 di kelas X TSM 1. Asal sekolah SMP saya yaitu SMP PUI Jatibarang yang juga bertempat di Jl. Letnan Joni No. 19 Jatibarang. Jadi saya tidak asing dengan tempat tersebut karena berada dalam satu wilayah.

Foto Fadel Ahmad Athoillah (Ketua Kelas X TSM 1 2016/2017)

Persatuan Ummat Islam (PUI)


Persatuan Ummat Islam (PUI) adalah organisasi massa Islam di Indonesia yang lahir pada 5 April 1952 di Bogor sebagai hasil fusi (penyatuan) dua organisasi besar, yaitu Perikatan Ummat Islam (PUI) pimpinan K.H. Abdul Halim Majalengka, yang berpusat diMajalengka, dengan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pimpinan K.H. Ahmad Sanusi yang berpusat di Sukabumi. Pimpinan pusat PUI saat ini, Ketua Majelis Syuro Ustadz Dr. H. Ahmad HeryawanLc, M.Si dan Ketua Dewan Pengurus Pusat, H. Nazar Harits, MBA periode kepengurusan 2014-2019

Persatuan ummat Islam (PUI) lahir pada tahun 1952 sebagai anak zaman dalam mematri persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya persatuan dan kesatuan intern ummat Islam. Dikatakan sebagai anak zaman karena pada waktu lahirnya, yaitu pada tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan 9 Rajab 1371 H di Bogor situasi dan kondisi keorganisasian sosial masyarakat di Indonesia saat itu cenderung berpecah-belah. Tetapi PUI lahir justru sebagai hasil fusi antara dua organisasi besar, yaitu antara Perikatan Ummat Islam (PUI), yang berpusat di Majalengka, dengan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII), yang berpusat di Sukabumi. Sebagai salah satu organisasi pergerakkan Islam, PUI begerak dan beramal di bidang Pendidikan, Sosial dan Kesehatan Masyarakat, Ekonomi dan Dakwah. Bahkan kini telah merintis dibidang Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
Perikatan Ummat Islam (PUI) merupakan organisasi yang pada awal didirikannya oleh K.H.Abdul Halim di Majalengka, Jawa Barat bernama Majlisul Ilmi (1911). Organisasi Majelisul Ilmi tumbuh dan berkembang melalui proses perjuangan yang penuh tantangan dan rintangan dari penjajah Kolonial Belanda. Dalam mencapai tujuannya organisasi ini terpaksa harus mengalami beberapa kali penyempurnaan dan pergantian nama.
Dengan penyempurnaan dimaksudkan untuk mendewasakan organisasi agar tahan uji terhadap tempaan zaman dan ujian hidup, sedangkan dengan pergantian nama, dimaksudkan di samping untuk menyesuaikan diri terhadap misi dan beban tanggung jawab yang harus dipikul, juga untuk menghindarkan diri dari intaian dan ancaman Pemerintah Kolonial Belanda. Demikianlah pada tahun 1912 Majlisul Ilmi menyempurnakan diri dan mengubah nama organisasinya menjadi Hayatul Qulub yang berarti menghidup-hidupkan hati. Setelah peristiwa aksi pemogokan buruh pabrik gula di Majalengka, dalam rangka melawan penindasan penguasa Belanda, Hayatul Qulub makin diawasi dan dicurigai Belanda. Kemudian, antara lain atas anjuran HOS Cokroaminoto, perhimpunan Hayatul Qulub diubah dan diganti, namanya menjadi Persyarikatan Oelama (PO) pada tahun 1916.
Dengan sengaja ulah dan tipu daya Belanda Persyarikatan Oelama (PO) pun mendapat rongrongan dari pihak penjajah, bahkan dari teman seiring K.H.Abdul Halim sendiri yang telah kena hasut dan pengaruh dari aparat pemerintah Belanda.
Mereka menfitnah bahwa pendidikan/sekolah yang didirikan PO itu adalah sekolah kafir, karena bentuk dan sistemnya seperti sekolah yang diadakan oleh Belanda, yaitu pendidikan dengan sistem kelas dengan duduk di bangku dan menghadap meja serta papan tulis. Tidak hanya itu para ulama yang tidak senang terhadap perkembangan PO juga menyebarkan isu kepada masyarakat luas, bahwa organisasi PO itu bukan untuk dan milik rakyat awam, tetapi khusus untuk dan milik para ulama. Jadi bagi kita yang bukan ulama tidak pantas dan tidak perlu ikut-ikutan masuk PO, kata mereka. Mereka menghasut masyarakat muslim agar tidak masuk PO. Terhadap fitnah tersebut KH.Abdul Halim tidak pernah menyerah. Ia tetap pada keyakinannya, menerukan pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Pada awal pendudukan Jepang organisasi-organisasi pergerakan yang pada tahun 1938 bergabung dalam MIAI (PO, AII, Muhamadiyah dan NU) dibubarkan oleh penguasa Jepang. Para ulama/pimpinan organisasi tersebut kemudian mendesak penguasa Jepang agar organisasi-organisasi mereka dibolehkan bergerak lagi. Beberapa bulan kemudian organisasi tersebut diizinkan oleh penguasa Jepang untuk melakukan kembali kegiatan-kegiatannya. Federasi MIAI pun diizinkan bergerak lagi dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sementara itu nama organisasi Persyarikatan Oelama diganti lagi menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI), yang dengan perubahan ejaan Bahasa Indonesia sistem Soewandi (1974) menjadi Perikatan Ummat Islam (PUI).
Selanjutnya adalah sejarah Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh KH.Ahmad Sanusi di Sukabumi, Jawa Barat. Seperti halnya Perikatan Ummat Islam, searah perjuangan PUI juga melalui proses perkembangan dan pergantian nama. Semula pada awal didirikannya organisasi perjuangan ini bernama “Al-Ittihadiyatul Islamiyah” disingkat AII. Pada masa pendudukan Jepang, AII sebagai anggota MIAI, mengalami proses seperti PO. Pada saat itulah AII berganti nama menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pada tahun 1942, dan berubah namanya pada tahun 1947 menurut Ejaan Soewandi menjadi PUII. Perjuangan PUII sejak awalnya secara prinsipil sama dengan PUI. Mengapa demikian?.
Kiranya patut kita pahami bersama, bahwa antara pimpinan PUI dan pimpinan PUII itu sebenarnya adalah satu guru dan satu ilmu. Mereka yaitu KH.Abdul Halim dan KH.Ahmad Sanusi, pada waktu yang bersamaan menuntut ilmu di Mekah, Saudi Arabia pada tahun 1908-1911. Mereka saling bersahabat dan saling bertukar pikiran, baik di bidang pendalaman ilmu, maupun pengalaman ilmunya kelak setelah kembali ke tanah air. Pada waktu di Mekah, mereka juga bertemu dan menjalin persahabatan karib dengan tokoh-tokoh pejuang Islam Indonesia lainnya, seperti KH.Mas Mansyur (Muhammadiyah) dan KH.Abdul Wahab (Nahdlatul Ulama).
Sekembalinya di tanah air, persahabatan mereka berlanjut. Mereka saling berkunjung dalam rangka lebih memantapkan cita-cita yang telah terukir dan digalang sejak di perantauan, yaitu cita-cita untuk menggalang persatuan dan kesatuan ummat Islam Indonesia, mereka anggap sebagai tulang punggung wawasan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Setelah mereka masing-masing memimpin PO dan AII, frekuensi pertemuan mereka semakin tinggi dan efektif. Sejak KH.Abdul Halim (PO) diundang oleh KH.Ahmad Sanusi untuk memberikan ceramah pada Muktamar AII di Sukabumi pada bulan Maret 1935, rencana realisasi cita-cita tentang terciptanya persatuan dan kesatuan ummat Islam Indonesia semakin konkret. Kedua ulama beserta seluruh anggota masing-masing bertekad bulat untuk saling melebur organisasi mereka, guna mewujudkan cita-cita bersama.
Kemudian pada berbagai kesempatan, betapapun sibuknya mereka sebagai wakil-wakil rakyat dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dalam bahasa Jepang nya disebut Dokuritsu Zyumbi Choosakai, mereka menyempatkan diri untuk menyusun rencana teknis pelaksanaan fusi dari kedua organisasi mereka.
Rencana mengenai nama bentuk organisasi hasil fusi yaitu Persatuan Ummat Islam, rancangan (konsep) kepengurusan, waktu serta tempat diadakan fusi, dan lain-lain telah disepakati bersama. Tetapi ditakdirkan sebelum upacara fusi dilaksanakan, KH.Ahmad Sanusi dipanggil oleh Allah SWT. Ia wafat tahun 1950. sesuai dengan wasiat ia kepada keluarga dan pengurus PUII agar pelaksanaan fusi secepatnya direalisasi, maka pada tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan 9 Rajab 1371 H. PUI dan PUII berfusi menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI). Kemudian dinyatakan sebagai “Hari Fusi PUI”.
Pendiri-pendiri PUI tersebut yaitu KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi dan Mr. Syamsuddin, berkat jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dianugerahi Bintang Maha Putera Utama, berdasarkan No.048/TK/Tahun 1992 tanggal 12 Agustus 1992.

Ormas ini melakukan kegiatannya di sejumlah bidang, yaitu pendidikan, sosial, kesehatan masyarakat, ekonomi dan dakwah. Bahkan ormas ini sekarang telah merintis kegiatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Saat diketuai oleh Ustadz Dr.H. Ahmad HeryawanLc, M.Si selaku Ketua Majelis Syuro dan H. Nazar Harits, MBA selaku Ketua Dewan Pengurus Pusat. Kedua tokoh ini adalah aset terbaik umat yang diharapkan mampu meneruskan api perjuangan para pendirinya. Dengan kapasitas sebagai Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan telah mampu membawa perubahan PUI ke arah organisasi yang modern dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Dia adalah kader militan PUI yang diharapkan mampu melanjutkan amanah kepemimpinannya di level yang lebih tinggi setelah purna tugas dari gubernur.
Sosok H. Nazar Harits dengan kapasitas keulamaannya yang mumpuni telah membawa angin optimisme selama ini bahwa PUI bisa lebih berkembang dan maju seiring dengan tantangan umat yang lebih banyak di masa mendatang. jaringan luas yang dimilikinya, baik nasional maupun internasional, telah membawa ekspansi ke HongkongMalaysia,Brunei dan negara lainnya dengan membentuk cabang PUI di luar negeri.
Lembaga Pendidikan PUI telah memiliki ribuan madrasah dalam berbagai tingkatan:
Keanggotaan. PUI memiliki heteroginitas anggota yang tersebar pada daerah tingkat I (provinsi), yaitu DKI JakartaJawa BaratJawa TengahJawa Timur, DI Yogyakarta,LampungSumatera SelatanSumatera UtaraAcehRiauBengkuluKalimantan SelatanNusa Tenggara BaratNusa Tenggara TimurSulawesi Selatan dan Bali.
Pergerakan yang masif dari kader PUI adalah kunci utama bagaimana roda organisasi terus melaju ke arah kemajuan yang diharapkan. Dengan dukungan SDM yang ada, tidak mustahil jika kader PUI pun berhak dan pantas terlibat dalam kepempinan nasional secara konstitusional. tak ada kata aneh bahkan mustahil, jika santri PUI siap melenggang di jalur eksekutiflegislatif dan yudikatif secara elegan dan profesional.

Riwayat K.H. Ahmad Sanusi

Gambar 1 : K.H. Ahmad Sanusi
Kiayi Haji Ahmad Sanusi seorang putera Sukabumi yang pernah berkiprah di panggung nasional di era 1920-an sampai dengan 1950-an. Ia adalah seorang Ulama Pemikir dan Pejuang yang telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga tidak heran apabila Pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya menjadi salah seorang perintis Kemerdekaan Republik Indonesia dan  Presiden Republik Indonesia melalui Presiden Soeharto menganugerahi penghargaan Bintang Maha Putera Utama pada tanggal 12 Agustus 1992 serta Presiden Susilo Bambang Yudoyono menganugerahi Bintang Maha Putera Adipradana pada tanggal 10 November 2009. Sedangkan Pemerintah Kota Sukabumi mengabadikan namanya menjadi salah satu nama jalan di Kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan Cigunung sampai dengan Degung. Adapun Gubernur Jawa Barat H. Ahmad Heriawan mengabadikan Karya Ahmad Sanusi yang monumental yakni TAFSIR RAUDHATUL IRFAN menjadi nama Masjid Raya RAUDHATUL IRFAN sebuah Masjid yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang berada di Jalan Lingkar Selatan Cibolang Sukabumi.
        Ahmad Sanusi, dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 12 Muharram 1306 H bertepatan dengan tanggal 18 September 1888 M di Kampung Cantayan Desa Cantayan Kecamatan Cantayan Kabupaten Sukabumi (Daerah tersebut duhulunya bernama Kampung Cantayan Desa Cantayan Onderdistrik  Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi) anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan K.H. Abdurrohim (Ajengan Cantayan, Pimpinan Pondok Pesantren Cantayan) dengan Ibu Empok.
        Sejak kecil Ahmad Sanusi hidup dilingkungan keluarga yang religius sampai usia remaja. Di lingkungan keluarga inilah Ahmad Sanusi mendapat pendidikan Agama Islam yang begitu ketat sehingga Ahmad Sanusi selain hafadz al-Qur’an diusia 12 tahun juga ia mengusasi berbagai disiplin Ilmu Agama Islam, seperti Ilmu Nahu, Sharaf, Tauhid, Fiqh, Tafsir, Mantiq, dan lain-lain.
Bab I
Sukabumi Pada Pergantian Abad 19 ke Abad 20

A.  Pergerakan Nasional
        Sebelum menjadi sebuah kabupaten (regentshappen) atau kota praja (gemeente), Sukabumi merupakan bagian dari Kabupaten Cianjur. Pada awalnya, Sukabumi merupakan sebuah vrijeland atau tanah partikelir hingga pada awal abad ke-19, vrijeland Sukabumi diubah menjadi salah satu distrik di Kabupaten Cianjur. Tahun 1871, Wilayah Vrijeland Sukabumi ini dijadikan sebagai Afdeeling Sukabumi dengan ibu kota di Kota Sukabumi dan meliputi tujuh distrik, yaitu Gunung Parang, Cimahi, Ciheulang, Cicurug, Pelabuhan, Jampang Tengah, dan Jampang Kulon.
        Mayoritas masyarakat Sukabumi memeluk agama Islam sehingga kehidupan sosial budayanya pun dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman. Keadaan tersebut diperkuat oleh kebangkitan gerakan kehidupan keagamaan yang terjadi di Pulau Jawa sejak akhir abad ke-19 (Kartodirdjo, 1984: 54). Di Sukabumi, kebangkitan kehidupan keagamaan tersebut ditandai dengan semakin banyaknya yang pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, jumlah pesantren yang semakin meningkat, dan pembangunan masjid yang cukup pesat.
        Di lain pihak, Pemerintah Hindia Belanda berupaya agar nilai-nilai keislaman yang dipraktikkan oleh masyarakat Sukabumi tidak berkembang menjadi suatu gerakan keagamaan. Pemerintah kolonial mengawasi secara ketat perilaku para kyai yang memiliki pengaruh yang sangat kuat di kalangan masyarakat. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda pun berusaha untuk mengkristenkan penduduk pribumi. Usaha itu dilakukan sejak pertengahan abad ke-19 oleh S. van Aendenburg dari Rotterdamsche Zendingsvereniging. Pada akhir abad ke-19, kristenisasi itu berhasil mendirikan sebuah perkampungan Kristen pertama di Sukabumi yang terletak di daerah Pangharepan (Algemeen Verslag over 1889; Noer, 1991: 27). Untuk mendukung penyebaran agama Kristen, baik kalangan misi maupun zending menjadikan sekolah dan rumah sakit sebagai media penyebaran agama Kristen. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau sampai tahun 1921, sebagaiman dilaporkan oleh L. de Steurs (Residen Priangan) tanggal 2 Januari 1921, di Sukabumi telah berdiri dua buah zendingschool dan sebuah sekolah partikelir yang bernama Hollandsch-Chineescheschool usaha Zending.
        Keadaan tersebut yang mendorong kalangan ulama untuk semakin menghidupkan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan Islam. Bahkan, mereka kemudian mendorong para santrinya yang telah selesai menimba ilmu di pesantrennya untuk mendirikan pesantren baru di daerah-daerah. Meskipun hampir di setiap wilayah di Sukabumi terdapat pesantren, namun Cantayan, Genteng, Gunung Puyuh, Cipoho, Babakan Cicurug, Sukamantri, Cibalagung, dan Cipanengah dipandang sebagai pusat pendidikan pesantren di Sukabumi.
        Merebaknya berbagai organisasi pergerakan nasional itu terasa juga pengaruhnya oleh masyarakat Sukabumi. Denyut nadi pergerakan nasional di Sukabumi begitu terasa mengingat secara geografis, wilayah ini tidaklah begitu jauh dari Batavia dan Bandung, dua daerah yang menjadi pusat pergerakan nasional. Di antara sekian banyak organisasi pergerakan nasional yang didirikan di Sukabumi, Sarekat Islam merupakan organisasi pergerakan nasional yang didirikan paling awal di Sukabumi.
        Sarekat Islam itu sendiri didirikan pada 11 November 1911 di Solo sebagai kelanjutan dari organisasi Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhoedi, M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno, M. Sumowerdojo, dan M. Hadji Abdulradjak (Utusan Hindia, 21 April 1914).
        Meskipun Sarekat Islam telah berdiri sejak tahun 1911, namun anggaran dasarnya baru disahkan pada 10 September 1912 melalui akte notaris. Seiring dengan pengesahan itu, kata “Dagang” yang terdapat di antara kata “Sarekat” dan “Islam” dihapus sehingga nama organisasi itu menjadi Sarekat Islam. Pengesahan anggaran dasar inilah yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai tahun berdirinya Sarekat Islam.
        Ketika Ahmad Sanusi menginjak usia tujuh tahun, dirinya diberi tugas untuk menggembalakan kambing milik ayahnya. Bersama-sama dengan saudara dan anak-anak sebayanya, ia menggembalakan kambing ayahnya tersebut penuh dengan kegembiraan. Ia dengan senang hati menjaga kambingnya serta mencarikan makanan (rumput) untuk kambingnya dari satu tempat ke tempat lainnya sambil bermain-main dengan teman-teman sebayanya. Tugasnya itu dijalani oleh Ahmad Sanusi sampai ia berusia sepuluh tahun. Selama lima tahun kemudian, tepatnya dari usia 10 tahun sampai berusia 15 tahun, Ahmad Sanusi tetap diberikan tugas menggembala hewan peliharaan oleh orang tuanya. Bedanya, bukan kambing lagi yang digembalakan oleh Ahmad Sanusi, melainkan kerbau. Menginjak usianya 15 tahun, Ahmad Sanusi disuruh menjaga kuda, kadang kuda, dan memotong rumput untuk makanan seluruh hewan peliharaan milikK. H. Abdurrahim.
        Di tengah-tengah kesibukannya menggembalakan hewan peliharaannya, Ahmad Sanusi diberi pendidikan dasar keagamaan oleh orang tuanya. Membaca Al Qur’an dan praktik-praktik ibadah lainnya secara rutin diberikan kepada Ahmad Sanusi. Keadaan seperti itu yang kemudian mampu membentuk karakter Ahmad Sanusi sebagai seseorang yang memiliki landasan keagamaan sangat kuat. Dengan demikian, sejak kecil Ahamad Sanusi telah mengalami proses internalisasi terhadap masalah-masalah keagamaan.  Selain itu, K. H. Abdurrahim menginginkan anak-anaknya menjadi serang ulama sehingga proses pendidikan keagamaan telah dilakukan terhadap Ahmad Sanusi, juga kepada saudara kandung lainnya, sejak usia dini. Keinginan tersebut merupakan fenomena umum yang menghinggapi harapan para kyai di Pulau Jawa.






Bab II
Di Tengah Arus Pergerakan Nasional

A. Aktif di Sarekat Islam dan Pesantren
       Setelah selesai menunaikan ibadah haji, H. Ahmad Sanusi tidak langsung pulang ke kampung halamanannya di Cantayan, Sukabumi. Ia mukim di Mekkah selama lima tahun untuk memperdalam ilmu keislamannya. Ia kemudian berguru kepada beberapa ulama lokal maupun ulama pendatang (mukimin). Pada umumnya, para ulama yang didatangi oleh H. Ahmad Sanusi adalah mereka yang berasal dari Mazhab Syafi’i. Beberapa gurunya itu antara lain H. Muhammad Junaedi, Haji Mukhtar, Haji Abdullah Jamawi, dan seorang mufti dari Mazhab Sayafi’i yang bernama Syeikh Saleh Bafadil.
        Tahun-tahun pertama mukimnya H. Ahmad Sanusi di Mekkah, jadi antara tahun 1910-1911, ia bertemu dengan H. Abdul Halim dari Majalengka. Oleh karena mereka berasal dari satu daerah yang sama yakni Tatar Pasundan pertemuan tersebut berkembang menjadi sebuah persahabatan. Konon katanya mereka bersepakat bahwa jika kelak kembali ke Indonesia, mereka akan berjuang membebaskan bangsanya dari penjajahan Belanda melalu pendidikan. Sekitar tahun 1911, H. Abdul Halim pulang ke kampung halamannya, sedangkan H. Ahmad Sanusi masih bermukim di Mekkah karena belum menyelesaikan pendidikan agamanya. Ketika H. Ahmad Sanusi pulang ke Cantayan pada Juli 1915, hubungannya dengan H. Abdul Halim diteruskan dan mereka mulai berusaha mengimplementasikan cita-citanya membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui pendidikan. Dari hubungan itulah, kelak di kemudian hari lahir sebuah organisasi yang bernama Persatuan Umat Islam (PUI) yang merupakan organisasi massa hasil fusi antara PUI dan PUII.
        Meskipun H. Ahmad Sanusi bermukim di Mekkah selama sekitar lima tahun, namun tidak satu pun sumber yang mengatakan pertemuannya dengan Syaikh Achmad Khatib. Walaupun tidak berguru kepada ulama paling berpengaruh yang berasal dari Minangkabau itu, tidak berarti mengurangi kualitas keilmuan yang dimiliki oleh H. Ahmad Sanusi. Malah sebaliknya, berdasarkan tradisi lisan yang berkembangan di kalangan para ulama Sukabumi, H. Ahmad Sanusi pernah menjadi imam shalat di Masjidil Haram. Jika cerita itu dapat dipercaya kebenarannya, hal tersebut merupakan sebuah bukti atas pengakuan para syeikh terhadap kedalaman ilmu dan pengetahuan agama yang dimiliki H. Ahmad Sanusi. Bahkan seorang syeikh sampai mengatakan bahwa jika seseorang yang berasal dari Sukabumi hendak memperdalam ilmu keagamaannya, ia tidak perlu pergi jauh-jauh ke Mekkah karena di Sukabumi telah ada seorang guru agama yang ilmunya telah mencukupi untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas diikuti . Meskipun tidak ada sumber pembanding, namun setidak-tidaknya dapat dijadikan sebagai suatu gambaran atas pengakuan masyarakat terhadap kedalaman ilmu keagamaan yang dimiliki oleh H. Ahmad Sanusi.
        Selain berguru kepada para ulama yang ada di Mekkah, H. Ahmad Sanusi pun secara kontinyu melakukan diskusi dengan para santri atau mukimin lainnya yang ada di Mekkah. Dalam diskusi itu dibicarakan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat, entah itu masalah sosial, agama, budaya, dan sebagainya. Diskusi yang dilakukan oleh H. Ahmad Sanusi tidak terbatas pada kalangan yang satu mazhab dengan H. Ahmad Sanusi. Para santri atau mukimin yang beda mazhab pun selalu diundang atau dihampiri oleh H. Ahmad Sanusi dan diajakan men-diskusikan masalah-masalah keagamaan, sosial, dan politik. Hal tersebut yang menjadikan wawasan dan pengetahuan H. Ahmad Sanusi menjadi lebih terbuka dan mendalam.
        Dalam kegiatan-kegiatan diskusi itulah, H. Ahmad Sanusi bertemu dengan seseorang yang bernama H. Abdul Muluk. Dalam pertemuan yang terjadi sekitar tahun 1913 itu, H. Abdul Muluk memperlihatkan statuten atau anggaran dasar Sarekat Islam (SI) kepada H. Ahmad Sanusi. Setelah statuten itu didiskusikan, H. Abdul Muluk mengajak H. Ahmad Sanusi untuk bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Ajakan tersebut direspons positif oleh H. Ahmad Sanusi dan meyakinkan H. Abdul Muluk bahwa dirinya setuju untuk bergabung dengan Sarekat Islam (Iskandar, 1993: 4). H. Ahmad Sanusi bersedia bergabung dengan Sarekat Islam karena organisasi tersebut dipandang memiliki tujuan yang baik, yakni tujuan akhirat dan tujuan duniawi. Oleh karena itu, ia mau menerima tawaran H. Abdul Muluk untuk menjadi anggota Sarekat Islam. Namun demikian, proses penerimaannya sebagai anggota Sarekat Islam berbeda dengan anggota lainnya karena H. Ahmad Sanusi tidak disumpah atau diba’iat (Proces Verbaal Hadji Ahmad Sanoesi tanggal 7 Oktober 1919 dalam Koleksi R. A. Kern No. 278. KITLV). Hal tersebut mungkin disebabkan H. Abdul Muluk tidak memiliki wewenang memba’iat anggota baru sehingga ketika H. Ahmad Sanusi menyatakan bersedia bergabung dengan Sarekat Islam, namanya langsung didaftarkan sebagai anggota Sarekat Islam.
        Peristiwa tersebut yang menghantarkan H. Ahmad Sanusi untuk terlibat dalam bidang politik. Keterlibatannya di bidang politik semakin jelas pada saat ia melakukan pembelaan bagi Sarekat Islam. Pembelaan yang dilakukan oleh H. Ahmad Sanusi terhadap Sarekat Islam bermula dari beredarnya sebuah surat tanpa identitas (surat kaleng) yang isinya menuduh Sarekat Islam bukanlah sebuah organisasi yang berlandaskan Islam. Surat kaleng itu tidak hanya diterima dan dibaca oleh H. Ahmad Sanusi, tetapi diterima juga oleh Syaikh Achmad Khatib dan K. H. Muchtar, dua orang ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Bahkan, surat tersebut sampai juga ke tangan K. H. Moehamad Basri dari Pesantren Babakan, Cicurug, Sukabumi. Menurut K. H. Moehamad Basri surat itu ditulis oleh Sayyid Utsman Betawi karena ada kemiripan dari gaya bahasanya.

B. Perdebatan dengan Ulama Pakauman
        Sifatnya yang tegas dalam berdakwah mengakibatkan dirinya memiliki keberanian untuk menentang setiap hukum yang dipandangnya tidak sejalan dengan Al Quran. Ia tidak akan melaksanakan fatwa yang dikeluarkan oleh ulama selama fatwa tersebut dipandang tidak memiliki landasan hukumnya. Oleh karena itu, tidak jarang ia terlibat perdebatan dengan kaum ulama yang bekerja di lembaga keagamaan bentukan pemerintah kolonial.
        Pada dasarnya, perdebatan K. H. Ahmad Sanusi dengan ulama Pakauman, tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya masayarakat Sukabumi dalam memandang ajaran-ajaran atau hukum Islam. Umumnya, dalam memandang orientasi masyarakat terhadap praktik keagamaan, kita mengenal dua kelompok yang saling bertentangan yakni kelompok modernis dan kelompok tradisional. Kelompok pertama merupakan kelompok yang berusaha untuk membersihkan praktik keagamaan dari hal-hal yang dianggapnya bidah. Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), dan Persatuan Islam (1923) dipandang sebagai organisasi yang menyebarkan ide-ide pembaharuan di kalangan umat Islam di Indonesia. Di bidang pendidikan, berdirinya Al Jamiyyah Al Khairiyah (1905) dan Al Irsyad (1914) merupakan eksponen dari gerakan pembaharuan di Indonesia
C. Konflik dengan Elite Birokrasi
        Perdebatan K. H. Ahmad Sanusi dengan ulama pakauman menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya konflik dengan elit birokrasi. Betapa tidak, dengan kharismanya yang begitu kuat terpancar dari dirinya, kalangan elite birokrasi merasa kewibawaannya di mata masyarakat menjadi terancam. Dengan perkataan lain, dari perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah keagamaan, bergeser menjadi konflik pribadi karena perbedaan pendapat tersebut berubah menjadi hasutan dan fitnahan. Oleh karena itu, kalangan elite birokrasi berusaha dengan berbagai cara untuk menjauhkan K. H. Ahmad Sanusi dari masyarakat Sukabumi.
        Meskipun benih-benih konflik antara K. H. Ahmad Sanusi dan elite birokrasi sudah ada ketika dirinya dikaitkan dengan Peristiwa Cimareme 1919 serta adanya dampak negatif atas perdebatannya dengan ulama pakauman yang dihembuskan oleh kalangan elite birokrasi, namun titik pangkal konflik tersebut adalah perbedaan pandangan dalam tradisi mendo’akan bupati setiap hari Jum’at. Tradisi ini memang tidak hanya terjadi di Sukabumi, tetapi umum terjadi di Pulau Jawa. Dalam setiap pelaksanaan Shalat Jum’at, setiap khatib diwajibkan untuk memanjatkan do’a bagi bupatinya. Bagi K. H. Ahmad Sanusi, tradisi tersebut bukanlah sebuah kewajiban, malah menyarankan tradisi tersebut tidak perlu dilakukan. Mendo’akan para pemimpin memang diwajibkan dalam syariat Islam, tetapi yang dido’akan itu seorang pemimpin atau raja yang adil dalam konteks ibadah Islam. Mendo’akan raja atau pemimpin Islam yang dzalim hukumnya haram, apalagi mendo’akan bupati. Bupati bukanlah raja, melainkan seorang pemimpin di suatu daerah yang dalam menjalankan kepemimpinannya tidak berdasarkan syariat Islam. Ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah kolonial yang dikategorikan sebagai pemerintahan kafir. Oleh karena itu, ia bekerja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melainkan untuk menjaga kepentingan kolonialisme. Oleh karena itu, mendo’akan mereka hukumnya haram karena tidak termasuk dalam konteks ibadah Islam.
        Pandangannya tersebut yang kemudian dikenal sebagai kasus abdaka maulana dianggap oleh para penguasa sebagai rongrongan dan ancaman terhadap kedudukan serta kewibawaan mereka. Tegasnya, K. H. Ahmad Sanusi dituduh akan merongrong kewibawaan mereka sehingga akan berpotensi menganggu keamanan dan ketertiban. Tuduhan tersebut semakin menguat seiring dengan adanya laporan yang menggambarkan pembangkangan masyarakat terhadap aparat desa sepulangnya mereka dari pengajian yang digelar oleh K. H. Ahmad Sanusi. Bahkan lebih dari itu, meskipun sudah tidak memiliki hubungan organisasi dengan Sarekat Islam, para aktivis organisasi tersebut mempergunakan pandangan K. H. Ahmad Sanusi dalam berbagai kegiatan pengajian dan propagandanya.



Bab III
Berjuang dari Pembuangan

A. Pengaduan Jamaah
       Dengan alasan yang tidak begitu jelas, sejak bulan November 1928 K. H. Ahmad Sanusi diasingkan ke Tanah Tinggi, Senen, Batavia Centrum. Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, pengasingan tersebut lebih didasarkan pada kekhawatiran terhadap pemikiran dirinya yang dinilai pemerintah kolonial berpontensi menimbulkan rust en orde. Bukan karena ia terlibat dalam suatu peristiwa tertentu, entah itu gerakan keagamaan atau pemberontakan.
        Selama menjalani pengasingannya di Batavia Centrum itu, K. H. Ahmad Sanusi tidak lantas berpangku tangan atau kemudian berubah pandangannya. Pengasingan tersebut justru telah membentuk watak dan kepribadiannya semakin kuat untuk berjuang menegakkan kebenaran. Ia terus berjuang melalui pemikirannya yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang disebarkan kepada masyarakat sehingga pemikirannya pun menyebar di kalangan masyarakat.
        Meskipun sedang menjalani pengasingan di tempat yang jauh dari kampung halamannya, namun pemerintah kolonial tidak melarang dirinya bertemu dengan orang-orang yang sepaham dengan dirinya maupun dengan orang-orang yang bertolak belakang dengan dirinya. Para santri dan jamaah dari Sukabumi berdatangan ke Batavia Centrum untuk menjenguk kyai kharismatik tersebut. Bahkan tidak hanya yang berasal dari Sukabumi, tidak sedikit juga jamaah yang menjenguknya berasal dari daerah luar Sukabumi.
        Para jamaah yang datng ke Tanah Tinggi, Batavia Centrum ternyata bukan hanya sekedar menjenguknya. Mereka selalu membawa permasalahan umat dan mendiskusikan dengan K. H. Ahmad Sanusi. Dengan perkataan lain, para jamaah yang mendatangi dirinya memiliki dua tujuan, yakni menjenguk dan mengadukan berbagai persoalan keagamaan. Puncak pengaduan para jamaah itu terjadi seiring dengan semakin gencarnya usaha yang dilakukan oleh para pembaharu Islam di wilayah Priangan Barat, termasuk Sukabumi.
        Sebenarnya, pengaduan jamaah tentang ide-ide pembaharuan yang dibawa oleh kaum mujadid bukanlah barang baru K. H. Ahmad Sanusi. Perdebatan dirinya dengan kaum mujadid itu telah dilakukan oleh K. H. Ahmad Sanusi sejak tahun 1924. Jadi dengan demikian, sebelum diasingkan ke Batavia Centrum, perdebatan yang dilakukan oleh K. H. Ahmad Sanusi tidak hanya dilakukan dengan ulama pakauman saja, melainkan juga dengan kaum mujadid.         Perdebatan itu sendiri diawali dengan dilaksanakannya safari tabligh ke desa-desa yang dilakukan oleh kaum mujadid untuk menyebarluaskan ide-ide pembaharuan mereka. Sejak tahun 1926, safari itu semakin gencar dilakukan oleh kaum mujadid yang tergabung dalam Majelis Ahlussunnah Cilame (MASC). Inti perdebatan itu sendiri menyangkut masalah furu yakni cabang dalam masalah keagamaan (Bendera Islam, 6 April 1926; 10 Mei 1926; Iskandar, 2001: 206).
       Terhadap permasalahan keagamaan itu, K. H. Ahmad Sanusi banyak melakukan perdebatan dengan beberapa orang ulama terkemuka dari kalangan pembaharu, antara lain K. H. R. Muhammad Anwar Sanusi dari Pesantren Biru Tarogong; K. H. R. Muhammad Zakaria dari Pesantren Cilame; K. H. Jusuf Taujiri dari Pesantren Cipari; dan K. H. Romli dari Pesantren Haur Koneng. Para Ajengan tersebut semuanya berasal dari Garut (Bendera Islam, 13 Mei 1926; Al Hidajatoel Islamijjah, 20 Maret 1930). Bahkan, K. H. Ahmad Sanusi pun pernah melakukan debat soal keagamaan dengan A. Hasan, tokoh Persis dari Bandung, ketika ia telah mendirikan Al Ittihadul Islamiyah.
B. Dunia Pendidikan dan Penerbitan
        Pengasingan yang dijalani oleh K. H. Ahmad Sanusi memberikan dampak positif terhadap dirinya. Selama menjalani pengasingannya di Batavia Centrum, ia menunjukkan dirinya sebagai ulama yang produktif dalam menulis buku. Perjuangan dalam menegakkan kebenaran dalam konteks ibadah Islam tidak hanya dapat dilakukan dengan cara berdakwah secara langsung. Pemikiran-pemikirannya yang sedikit banyaknya terpancing oleh adanya pengaduan dari para jamaah dituangkan oleh K. H. Ahmad Sanusi dengan menulis buku. Hal tersebut mudah dipahami karena sebagai orang yang sedang menjalani pengasingan, ruang geraknya sangat dibatasi. Sementara itu, jika tidak menanggapi pengaduan-pengaduan para jamaah yang menyangkut masalah keagamaan, maka masayarakat akan mengalami kebingunan dalam menjalankan praktik-praktik keagamaannya. Oleh karena itu, ia menuliskan pemikirannya dengan menerbitkan berbagai buku.
        Selain itu, produktivitasnya dalam penerbitan buku menunjukkan bahwa K. H. Ahmad Sanusi merupakan kyai tradisional yang memiliki pikiran progresif. Ia tidak hanya berdiam diri sambil memegang kuat keyakinan tradisionalnya. Ia memberikan suatu pembelaan terhadap para ulama terdahulu yang menurut kaum mujadid pemikirannya tidak perlu dijadikan bahan rujukan untuk ber-taqlid. Namun yang terpenting adalah meskipun ia diasingkan ke Batavia Centrum sehingga meninggalkan para santri dan jamaahnya di Sukabumi, proses pembelajaran terhadap mereka tetap dapat dilakukan oleh dirinya. Pada hakikatnya, dia tetap melaksanakan proses mengajar tetapi dengan menggunakan media berbeda.
       Materi-materi keagamaan yang disampaikan kepada para santri dan jamaahnya ddilakukan melalui sebuah buku. Tafsir Qur’an, misalnya, ia secara rutin menuliskannya ke dalam beberapa buku (buletin) yang secara rutin ia terbitkan di Batavia Centrum. Dengan demikian, meskipun ia diasingkan dari lingkungan sosial-budayanya, namun ia tidak meninggalkan dunia pendidikan. Proses pendidikan terhadap para santrinya tetap dapat dilakukan. Para kyai yang menggantikannya di pesantren terlebih dahulu mendiskusikan tafsir yang ditulis gurunya itu ketika menjenguknya ke Batavia Centrum.
        Dari menulis buku inilah, K. H. Ahmad Sanusi dapat bertahan hidup selama pengasingannya di Batavia Centrum karena buku-bukunya itu banyak dibeli orang (Sipahoetar, 1946: 73). Produktivitasnya dalam menulis buku diperlihatkan dengan kemampuannya dalam menerbitkan buku yang jumlahnya mencapai ratusan judul, seperti yang dilaporkan oleh dirinya kepada Pemerintah Militer Jepang tahun 1942. Adapun buku-buku yang ditulis dan diterbitkan oleh K. H. Ahmad Sanusi adalah sebagai berikut.
A. Buku yang ditulis dalam Bahasa Sunda
        Beberapa buku yang ditulis K.H. Ahmad Sanusi dalam bahasa Sunda adalah sebagai berikut.

1. Al loe, loeoennadid (Menerangakan Bahasan Ilmoe Taoehid)

2. Matan Ibrohiem Badjoeri Gantoeng Logat

3. Matan Sanoesi Gantoeng Logat

4. Madjmaoel Fawaid (Tardjamah Qowaidoel Aqoid)

5. Taoehidoel Moeslimien

6. Tardjamah Risalah Qoedsijah

7. Tardjamah Djauharotoettaoehid

8. Tidjanul Gilman (Elmoe Tadjwied Qoeran)

9. Hiljatoellisan

10. Tardjamah Fiqih Akbar karangan Imam Hanafi, dan masih banyak lainnya.

B. Buku yang ditulis dalam Bahasa Melayu

1. Tafsier Maldjaoettolbien (1 Boekoe)

2. Fadoiloel Kasbi (Bab Kasab dan Ichtiar)

3. Mifatahoerrohmah (Bab Hadijah)

4. Tamsjijjatoel Moeslimin (53 Boekoe dari 7 ½ Djoez Qoeran)

5. Bab Woedloe

6. Bab Bersentoeh

7. Lidjamoel Goeddar (Bab Ajah Boenda Nabi)

8. Jasin Waqiah di Gantoeng Loegat dan Keterangannja

9. Asmaoel Hoesna dengan mananja serta Choesoesijatnja

10. Tahdziroel Afkar (Menolak Kitab Tasfijatoel Afkar), dan masih banyak lainnya.
Gambar 2 : Buku Karya K. H. Ahmad Sanusi
Tentang Mukjizat Nabi Muhammad SAW
Sumber : Buku Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi

Gambar 3 : Kitab Al ‘Uhud fil Hudud Karya K. H. Ahmad Sanusi















Bab IV
Menjadi Tahanan Kota


A. Berjuang di Sukabumi
       
        Meskipun aktivitas para anggota AII terutama di Sukabumi semakin meningkat, namun pemerintah kolonial tidak dapat mengambil tindakan yang berarti. Pemerintah kolonial mengalami kesulitan untuk membekukan kegiatan AII karena pemimpinnya masih ditahan di Batavia Centrum. Oleh karena itu, meskipun sebagian besar aparat pemerintahan di Sukabumi begitu mengkhawatirkan perkembangan AII, namun pemerintah kolonial hanya bisa bersikp sampai pada mengawasi secara ketat aktivitas AII.
       
        Kekhawatiran mendalam dari kalangan birokrat melahirkan keyakinan bahwa salah satu cara yang efektif untuk menghambat perkembangan AII adalah menjauhkan K. H. Ahmad Sanusi dari lingkungan jamaahnya. Oleh karena itu, mereka mendesak Pemerintah Hindia Belanda untuk tetap mengasingkan K. H. Ahmad Sanusi di Tanah Tinggi 119, Batavia Centrum. Rencana Pemerintah Hindia Belanda membebaskan K. H Ahmad Sanusi ditentang dengan keras oleh para pejabat lokal. Mereka mengatakan bahwa ketentraman dan keamanan di Sukabumi tidak dapat dijamin kalau Pemerintah Hindia Belanda mengembalikan K. H. Ahmad Sanusi ke Sukabumi.

        Rupa-rupanya, para pejabat setempat menilai pengaruh Ajengan Genteng yang begitu besar bagi masyarakat Sukabumi dapat dimanfaatkan oleh kaum pergerakan nasional. Jika hal itu dibiarkan maka kewibawaan pemerintah di mata masyarakat akan hancur dan ini merupakan ancaman besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolonialisme mereka. Dengan mempertimbang-kan kondisi itu, Gubernur Jawa Barat menyarankan agar Pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niatnya membebaskan K. H. Ahmad Sanusi dari pengasingannya di Batavia Centrum. Saran tersebut didukung oleh Direktur Binnenlands Bestuur yang mengirim surat kepada Gubernur Jenderal de Jonge tanggal 24 Oktober 1933. Isi surat itu senada dengan surat Gubernur Jawa Barat yakni terlalu beresiko bagi pemerintah kalau K. H. Ahmad Sanusi dibebaskan dari pengasingannya.

        Meskipun suara umum yang berkembang di kalangan pemerintahan menginginkan kondisi seperti itu, namun ada juga yang berpandangan lain. Mereka menilai bahwa sudah saatnya K. H. Ahmad Sanusi dibebaskan dari pengasingannya dan dikembalikan ke Sukabumi. Salah seorang pajabat yang berpandangan seperti itu adalah Gobee, yang pada waktu berkedudukan sebagai Pensihat Pemerintah untuk Urusan Bumiputera. Akan tetapi, pandangannya tersebut tidak dapat diterima sehingga pemerintah tetap mengasingkan K. H. Ahmad Sanusi di Batavia Centrum.

        Memasuki tahun 1934, kelompok birokrat yang berpandangan bahwa sudah saatnya K. H. Ahmad Sanusi dibebaskan sebagai cara untuk menghambat perkembangan AII, semakin menguat. Pada tanggal 5 Februari 1934, Gobee mengirim surat kepada Gubernur Jenderal de Jonge yang mengatakan bahwa kekhawatiran para pejabat setempat, terutama para ulama pakauman, terhadap perkembangan AII lebih disebabkan oleh kuatnya sentimen pribadi mereka terhadap kelebihan yang dimiliki oleh K. H. Ahmad Sanusi. Sentimen itu lahir karena memang kecerdasan K. H. Ahmad Sanusi melebihi kecerdasan yang dimiliki oleh ulama pakauman. Sebagai ahli tafsir, pemikiran-pemikirannya tidak dapat diimbangi oleh ulama pakauman sehingga kalau dibiarkan akan menggoyahkan kewibawaan mereka di mata masyarakat.

B. Kontak dengan Para Pejuang Nasional
       
        K. H. Ahmad Sanusi berhasil membesarkan AII sehingga organisasi tersebut berkembang sampai di luar Sukabumi. Perkembangan tersebut acapkali membuat sikap anggotanya menjadi lebih militan bahkan cenderung membandel kepada pemerintah. Akan tetapi, sikap militan yang diperlihatkan oleh para anggota AII tidak lantas berubah menjadi kerusuhan yang membuat pemerintah kolonial mengambil tindakan pembekuan terhadap aktivitas AII. Dengan perkataan lain, K. H. Ahmad Sanusi berhasil menanamkan ajaran untuk berani mengemukakan pendapat selama didukung oleh dalil-dalil Al Qur’an. Kekerasan bukan tujuan didirikannya AII, meskipun watak dan kepribadian K. H. Ahmad Sanusi begitu keras. Di lain pihak, pemerintah kolonial tidak memperlihatkan itikad untuk membebaskan K. H. Ahmad Sanusi dari statusnya sebagai tahanan kota. Pejabat-pejabat Belanda yang menginginkan status K. H. Ahmad Sanusi segera dicabut, tidak mampu meyakinkan pejabat yang menginginkan Ajengan tersebut tetap ditahan.

        Pergantian Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari B. C. de Jonge kepada A. W. L. Tjarda tahun 1936 tidak memberikan tanda bahwa pemerintah kolonial akan segera membebaskan K. H. Ahmad Sanusi dari statusnya sebagai tahanan kota. Harapan pembebasan tersebut muncul karena perbedaan kebijakan di antara kedua gebernur jenderal tersebut. Gubernur Jenderal de Jonge menjalankan pemerintahan dengan sikap keras dan kaku sehingga masa pemerintahannya (1931-1936) dipandang sebagai masa pemeritahan yang terburuk. Ia mendorong gerakan politik Indonesia ke arah non-kooperasi sehingga memiliki alasan untuk memberangus kegiatan politik kaum pergerakan nasional. Sementara itu, Tjarda diyakini sebagai gubernur jenderal yang berpaham liberal sehingga akan memberikan angin segar bagi kaum pergerakan nasional.

        Meskipun gubernur jenderal telah dipegang oleh Tjarda, namun pada umumnya kebijakan pemerintahan tidaklah terlalu berubah secara signifikan. Keadaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa orang-orang reaksioner yang duduk di pemerintahan masih sangat berpengaruh. Gobee pun masih sependapat dengan Gubernur Jawa Barat bahwa status K. H. Ahmad Sanusi sebagai tahanan kota masih perlu dipertahankan. Sementara itu, upaya PB AII untuk memperjuangkan kebebasan pemimpinnya terhambat oleh tuduhan bahwa K. H. Ahmad Sanusi memiliki hubungan khusus (politik) dengan orang-orang Jepang. Tuduhan tersebut cukup serius karena pada akhir tahun 1930-an, hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan Pemerintah Jepang semakin memburuk. Orang-orang Jepang yang ada di Indonesia begitu dicurigai sebagai mata-mata sehingga siapapun yang berhubungan dengan orang Jepang, ia akan dicurigai sebagai mata-mata Jepang.








Bab V

Zaman Pendudukan Jepang

A. Sukabumi di Bawah Kekuasaan Jepang

        Ketika Kemaharajaan Jepang menyatakan perang kepada Amerika Serikat dan Inggris yang ditandai dengan serangan terhadap Pearl Harbour pada 8 Desember 1941, pecahlah Perang Asia Timur Raya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyatakan perang terhadap Jepang sehingga terjadilah mobilisasi angkatan bersenjata. Kekuatan militer Hindia Belanda ternyata tidak mampu membendung gerakan ofensif militer Jepang sehingga dalam waktu yang singkat, satu per satu wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Di Jawa Barat, Jepang mendarat di Banten dan Eretan. Dari arah Banten-lah, pada hari Jum’at tentara Jepang memasuki Kota Sukabumi. Mereka membombardir Kota Sukabumi dari Cibadak.

        Pada awal tahun 1943, pendekatan Jepang terhadap golongan Islam semakin gencar dilakukan. Tujuannya jelas untuk memobilisasi umat Islam membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Kolonel Horie, pimpinan Shumubu, mengutus beberapa stafnya untuk menemui sejumlah ulama terkemuka di Pulau Jawa, antara lain H. Abdul Muniam Inada. Ia menemui K. H Ahmad Sanusi di Pesantren Gunung Puyuh agar mau bekerja sama membangun Lingkungan Kemakmuran Asia Timur Raya.Sementara itu, setelah ormas Islam dibubarkan, termasuk AII, dan MIAI dipandang tidak optimal dalam memobilisasi umat Islam, Pemerintah Militer Jepang mendirikan Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi) pada Oktober 1943.

        Pada dasarnya, K. H. Ahmad Sanusi tidak menolak tawaran kerja sama tersebut. Sikap kooperatif yang diperlihatkan oleh K. H. Ahmad Sanusi bukan berarti ia berposisi sebagai boneka Jepang. Kerja sama dengan Jepang yang ia perlihatkan semata-mata sebagai bentuk strategi dalam perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari penguasaan bangsa asing. Bangsa Jepang memiliki berbagai keunggulan khususnya di bidang militer. Keunggulan tersebut hanya dapat dimanfaatkan kalau bangsa Indonesia berpura-pura bekerja sama dengan Jepang. Hal tersebut ditegaskan oleh K. H. Ahmad Sanusi kepada Soekarno ketika Ketua Poetera itu berkunjung ke Pesantren Gunung Puyuh pada saat ia sedang dirawat dr. Abu Hanifah di Rumah Sakit St. Ludwina, Sukabumi.

        Pada awal Mei 1943, Jepang mengumumkan akan menyelenggarakan Latihan Kiai di Jakarta. Kegiatan yang dikoordinasi dan diawasi secara langsung oleh Shumubu tersebut akan diikuti oleh para kiai dari setiap syu dengan tujuan hendak “menyuntikkan semangat baru” di kalangan kiai. Untuk merealisasikan rencana itu, para pejabat Shumubu melakukan pembicaraan dengan para pemuka Islam di Hotel Des Indes. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan para kiai yang akan menjadi instruktur dalam kegiatan Latihan Kiai. Salah seorang kiai yang direkomendasikan adalah K. H. Ahmad Sanusi yang menurut pandangan Harry J. Benda seorang kiai ortodoks terkemuka yang memiliki keahlian di bidang tafsir Al Qur’an. Latihan Kiai itu sendiri diselenggarakan tanggal 1 Juli 1943 dan K. H. Ahmad Sanusi tercatat sebagai salah seorang pengajar dalam kegiatan tersebut bersama-sama dengan H. Agus Salim, Dr. Amrullah, Dr. Prijono, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Hoesein Iskandar yang didampingi para pengajar berkebangsaan Jepang (Asia Raja, 7 Juli 1943). Ahmad Mansur Suryanegara (1996: 140) mengatakan bahwa Latihan Ulama itu diselenggarakan pada 1 Februari 1944 di Kantor Masjoemi Jalan Imamura No. 1 Jakarta. Selain K. H. Ahmad Sanusi, yang menjadi pengajar dalam kegiatan itu adalah K. H. Mohammad Adnan dari Mahkamah Tinggi Islam dan H. Agus Salim.

        Pada 1 Agustus 1943, Letnan Jenderal Kumaichi Harada mengumumkan bahwa bangsa Indonesia akan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam struktur pemerintahan militer Jepang. Dua posisi yang akan diisi oleh bangsa Indonesia yaitu sebagai anggota Dewan Penasihat Pusat (Chuo Sangi In) dan Dewan Penasihat Daerah (Shu Sangi Kai) serta penasihat tertinggi (sanyo) di setiap departemen. Terkait dengan itu, Pemerintah Militer Jepang pada Oktober 1943, mengangkat K. H. Ahmad Sanusi sebagai anggota Dewan Penasihat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai).

        Sebelum menerima kedudukan sebagai Giin Bogor Shu Sangi Kai, K. H. Ahmad Sanusi mengajukan syarat kepada Pemerintah Militer Jepang, yakni meminta agar AII dihidupkan kembali. Pemerintah Militer Jepang tidak keberatan atas syarat tersebut selama K. H. Ahmad Sanusi mau mengubah anggaran dasarnya. Untuk kepentingan yang lebih luas, K. H. Ahmad Sanusi mengubah anggaran dasar AII sehingga mencerminkan memahami dan menerima tujuan-tujuan Persemakmuran Asia Raja. Perubahan anggaran dasar itu dapat memuaskan Pemerintah Militer Jepang sehingga sejak tanggal 1 Februari 1944, AII dihidupkan kembali bersama-sama dengan Persjarikatan Oelama pimpinan K. H. Abdul Halim dari Majalengka. Nama AII kemudian diubah menjadi Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII) (Asia Raja, 4 Februari 1944; Benda, 1980: 303; Tjahaja, 5 Februari 1944). Sejak akhir Mei 1944, K. H Ahmad Sanusi dan K. H. Abdul Halim diangkat menjadi wakil POII dan POI dalam Masjoemi. Bahkan K. H.Ahmad Sanusi kemudian duduk di jajaran pengurus Masjoemi.

        Dengan berdirinya POII, K. H. Ahmad Sanusi dapat melakukan kembali aktivitasnya sebagai seorang ajengan. Berbagai ceramah atau tabligh diselenggarakan oleh POII dan dalam penyelenggaraannya tidak mendapat hambatan berarti dari Jepang. Kempeitei hanya sebatas mengawasi kegiatan mereka saja. Di lingkungan Pesantren Gunung Puyuh, kegiatan para santri tidaklah berhenti. Setiap hari para santri diberi pelajaran tambahan, yakni bela diri dan pelajaran baris berbaris. Penghormatan kepada Kaisar Jepang (seikerei) pun dilaksanakan, tetapi dengan niat bukan untuk menyembah tenno. Seikeirei hanya dilakukan sebatas membungkukan badan semata tanpa disertai ucapan apapun. Para santri dan Pengurus Besar AII melakukan seikerei. K. H. Ahmad Sanusi tidak pernah melakukan seikerei, tetapi tidak pernah ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Militer Jepang. Sementara itu, bela diri diberikan kepada para santri sebagai upaya membentuk fisik dan mental yang tangguh.

        Meskipun POII telah berdiri, namun K. H. Ahmad Sanusi tidak secara total dapat mengurus organisasi tersebut. Hal tersebut terkait dengan kebijakan Pemerintahan Militer Jepang yang pada akhir tahun 1944, memperluas pasrtisipasi bangsa Indonesia dalam struktur pemerintahan militer. Beberapa wakil residen (yang baru dibentuk) dan wai kota diberikan kepada bangsa Indonesia dari golongan nasional. Hal ini menandakan bahwa kaum nasionalis-lah yang akan bertindak sebagai ahli waris apabila Jepang menyerah dalam Perang Asia Timur Raya. Meskipun demikian, kaum nasionalis tersebut tidak juga dapat melepaskan diri dari pengaruh kiai. Petunjuk ke arah itu dapat dilihat dari persetujuan K. H. Ahmad Sanusi terhadap rencana pengangkatan Mr. Samsudin sebagai Wali Kota Sukabumi. Dengan persetujuan itu, sejak tanggal 2 November 1944, Mr. Samsudin diangkat sebagai Wali Kota Sukabumi. Satu bulan kemudian, Pemerintah Militer Jepang mengangkat K. H. Ahmad Sanusi sebagai Wakil Residen (Fuku Syucokan) Bogor. (Kan Po, 25 November 1944 dan 10 Desember 1944; Benda, 1980: 218; 321). Ia merupakan satu-satunya ulama tradisional yang memegang jabatan eksekutif dalam struktur pemerintahan militer Jepang.

B. Hubungan dengan Peta

        Dengan keluarnya Osamu Seirei No. 44 itu, secara serentak di berbagai daerah mulai dibentuk Tentara Peta. Meskipun yang mengajukannya seorang nasionalis, namun ternyata respons dari kalangan ulama begitu besar. Bahkan di antara mereka ada jugayang menduduki jabatan-jabatan komandan di berbagai kesatuan Peta.
 
           Di Keresidenan Bogor (Bogor Syu), pemerintah setempat meminta K. H. Ahmad Sanusi untuk membentuk Tentara Peta. Permintaan itu wajar dilakukan mengingat Ajengan Gunung Puyuh itu memiliki pengaruh yang sangat besar. Sementara itu, permintaan itu disanggupi oleh dirinya karena pembentukan Tentara Peta merupakan pintu masuk bagi tujuannya yakni meminta Jepang melatih bangsa Indonesia di bidang militer.

          K. H. Ahmad Sanusi kemudian mengumpulkan para ulama dan mu’alim yang ada di wilayah Bogor Syu di Pesantren Gunung Puyuh. Dalam pertemuan itu, K. H. Ahmad Sanusi mendiskusikan keputusan Pemerintah Militer Jepang untuk membentuk Tentara Peta. Para ulama yang menghadiri pertemuan tersebut, sepakat dengan K. H. Ahmad Sanusi untuk sesegera mungkin membentuk Tentara Peta di wilayah Bogor Syu. Kesepakatan Gunung Puyuh itu segera ditindaklanjuti dengan melaporkannya kepada Pemerintah Militer Jepang. Bertempat di Pesantren Gunung Puyuh, pemerintah mulai membuka pendaftaran bagi bangsa Indonesia yang ingin menjadi calon perwira Tentara Peta. Sementara itu, untuk mengisi jabatan komandan, K. H. Ahmad Sanusi telah mempersiapkan beberapa orang kiai, antara lain Acun Basyuni dan Abdullah bin Nuh.

C. Menjadi Anggota BPUPKI

        Pada 28 Mei 1945, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diresmikan oleh Pemerintah Militer Jepang bertempat di Gedung Cuo Sangi In (sekarang menjadi Gedung Departemen Luar Negeri RI). Peresmian itu dilanjutkan dengan pelantikan ketua dan para anggota BPUPK yang diiringi dengan pengibaran bendera Merah Putih dan Hinomaru. Meskipun K. H. Ahmad Sanusi bukan anggota Chuo Sangi In, melainkan Fuku Syucokan Bogor, namun Pemerintah Militer Jepang mengangkatnya sebagai anggota badan tersebut. Dalam setiap persidangan, ia menempati kursi nomor 36 bersebelahan dengan R. Soekardjo Wirjopranoto.

        Keberadaan K. H. Ahmad Sanusi di BPUPKI tidak hanya sebatas duduk dan mendengarkan para pemimpin bangsa melontarkan ide-idenya tentang negara Indonesia merdeka. Selama BPUPKI melangsungkan persidangan yang membicarakan masalah bentuk negara dan rancangan undang-undang bagi negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk, K. H. Ahmad Sanusi memperlihatkan kualitas yang tidak kalah dengan kelompok nasionalis yang berpendidikan barat. Ia pun memberikan usul dan gambaran mengenai bentuk negara Indonesia merdeka yang ideal beserta dengan batas-batasnya. Pengetahuannya yang luas tersebut terungkap dalam persidangan BPUPKI tanggal 10 Juli 1945.


Bab VI
Perjuangan pada Masa Kemerdekaan Indonesia

        Di tengah-tengah kesibukannya sebagai anggota KNIP, K. H. Ahmad Sanusi berupaya mempersiapkan para santrinya dan masyarakat umum untuk mempertahankan kemerdekaan. Untuk menunjang itu, Barisan Islam Indonesia (BII), yang didirikan oleh K. H. Ahmad Sanusi tahun 1937, dijadikan sebagai laskar perjuangan. Mereka bermarkas di Pesantren Gunung Puyuh dan langsung dipimpin oleh K. H. Ahmad Sanusi. Selain itu, K. H. Ahmad Sanusi pun membentuk Hizbullah dan menyerahkan tampuk pimpinannya kepada salah seorang anaknya, K. H. Damanhuri, yang berpengalaman dalam memimpin BII. Sama halnya dengan BII, Hizbullah pun menjadikan Pesantren Gunung Puyuh sebagai markas besarnya.

        Dengan dijadikannya BII dan Hizbullah sebagai laskar perjuangan, K. H. Ahmad Sanusi telah mempersiapkan para pejuang yang akan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan itu memang perlu dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia karena baik Jepang maupun Sekutu tidak pernah mengakui Kemerdekaan Indonesia. Kenyataan inilah yang melahirkan Perang Kemerdekaan yang berlangsung dari tahun 1945 sampai tahun 1949. Selama berkecamuknya Perang Kemerdekaan, K. H. Ahmad Sanusi ikut berjuang mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan, antara lain dalam peristiwa pertempuran di Bojongkokosan

        Ketika Pemerintah RI sepakat dengan NICA untuk menandatangani Perjanjian Renville tahun 1948, sebagai anggota KNIP, K. H. ikut hijrah ke Yogyakarta. Hijarh tersebut dilakukan karena berdasarkan perjanjian itu, aparat pemerintah dan para pejuang kemerdekaan harus meninggalkan wilayah Belanda. Akibat Agresi Militer I, wilayah Jawa Barat jatuh ke tangan Pasukan Belanda sehingga dianggap sebagai wilayah kekuasaan mereka. Sementara itu, akibat hijrah itu, Sukabumi tidak memiliki kekuatan bersenjata. Pasukan Hizbullah-lah yang menjaga Sukabumi sehingga mereka dapat menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

         Tidak diketahui memang, bagaimana aktivitas K. H. Ahmad Sanusi di Yogyakarta. Akan tetapi, sebagai seorang ulama pejuang, aktivitasnya tidak akan jauh dari berdakwah untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia dengan tegas akan mempertahankan Negara Republik Indonesia yang dimerdekakan pada 17 Agustus 1945. Salah petunjuknya adalah ketegasannya dalam menolak keberadaan DI/TII yang dipimpin oleh R. M. Kartosuwiryo. Secara pribadi, ia menolak keberadaan DI/TII karena banyak yang menyimpang dari hukum Islam. Mislanya, hak veto yang dimiliki Kartosuwiryo sebagai Imam DI/TII bertentangan dengan hukum Islam. Hukum Islam tidak memberikan hak seperti itu kepada seorang imam. Keputusannya itu, diikuti oleh beberapa orang ulama, antara lain K. H. Yusuf Taujiri dari Pesantren Cipari, Garut.

        Cita-citanya yang ingin mempersatukan POII dengan POI dilanjutkan oleh anak-anaknya dan para santrinya. Usaha itu terwujud seiring dengan terbentuknya Persatuan Ummat Islam pada 5 April 1952. Sementara itu, untuk menghargai perjuangannya, pemerintah mengabadikan namanya sebagai nama sebuah jalan di Kota Sukabumi. Jalan K. H. Ahmad Sanusi merupakan jalan propinsi yang terletak pada jalur Sukabumi-Bogor. Selain itu, ia pun diakui sebagai pejuang yang simbolnya (replika bambu runcing dan bendera merah putih) ditancapkan di dekat makamnya. Penghargaan lain yang diberikan oleh Pemerintah RI adalah penganugerahan Bintang Mahaputera Utama yang diterima K. H. Ahmad Sanusi pada 12 Agustus 1992.